Dua tulisan sebelumnya telah memaparkan cerita yang telah dipercaya turun-temurun tentang pelarian Majapahit yang membentuk desa-desa di Gunungkidul dan jejak peninggalan sejarah berupa candi dan arca yang ternyata lebih bergaya arsitektur klasik tua (Jawa Tengah) yang banyak tersebar di Gunungkidul. Tulisan ketiga ini akan melengkapi dua tulisan tersebut.
Meski cerita tentang pelarian Majapahit telah tersebar luas dan sangat kuat mengakar di tengah warga namun jejak-jejak arkeologis tentang keberadaan tokoh-tokoh pelarian tersebut sangat sulit didapatkan. Bahkan keberadaan Raja Brawijaya sebagai penguasa terakhir Majapahit masih diperdebatkan oleh para ahli. Prasasti yang diketemukan hanya menyebutkan penguasa terakhir Majapahit adalah Dinasti Girindrawardhana yang bertahta 1474 - 1519. Sampai kini belum ada sumber resmi yang menyebutkan Brawijaya adalah raja Majapahit. Nama Brawijaya hanya dikenal melalui sumber-sumber tradisional yakni Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan Darmagandul. Sumber-sumber itupun memberikan keterangan berbeda-beda tentang Brawijaya. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan Brawijaya menyaksikan sendiri Majapahit diserang oleh tentara Demak yang dipimpin putranya sendiri. Brawijaya dan keluarganya kemudian lari. Serat Kanda mengisahkan pelarian Brawijaya hingga ke Pulau Bali, sedang Serat Darmogandul menceritakan Brawijaya diislamkan oleh Sunan Kalijaga di Blambangan. Keberadaan Brawijaya dalam sejarah Majapahit banyak pihak meragukannya.
Peninggalan sejarah yang berupa candi dan arcapun terlalu gegabah apabila dikaitkan dengan pengaruh Majapahit. Dari corak dan gaya arsitekturnya, hampir semua situs dan penemuan arca di Gunungkidul lebih mencirikan berasal dari periodisasi Klasik tua dimana hampir semua candi dan arca di Jawa Tengah masuk dalam usia ini.
Keberadaan cerita turun-temurun, terlepas masih perlu kajian mendalam, telah menjadi fakta di tengah warga Gunungkidul dan hal ini menjadi arti sendiri bagi mereka. Hampir semua tempat di Gunungkidul melestarikan tradisi yang berakar dari cerita-cerita leluhur. Tradisi yang dirayakan tiap tahun ini diselenggarakan oleh semua elemen masyarakat baik tua maupun muda dan tidak jarang dihadiri oleh putra-putri Gunungkidul yang merantau di berbagai daerah. Mereka sengaja pulang kampung untuk berperan serta dalam ritual tahunan karena merasa ada ikatan batin yang kuat saat merayakan tradisi tahunan tersebut. Cerita- cerita leluhur tersebut telah menjadi bagian dari budaya yang tidak mungkin terpisahkan dari mereka. Cerita ini diyakini menjadi pemersatu dan penegasan jati diri dalam merawat kebudayaan seiring berjalannya waktu.
Disajikan dari keragaman sumber oleh Radekka FM