Lima belas orang membawa alat musik unik menaiki lantai panggung. Ada bapak-bapak berpakaian ala petani berbaju hitam dengan iket (ikat kepala) terpasang di kepala, ada ibu-ibu berkebaya, dan anak-anak berpakaian anak petani. Bapak-bapak dan anak-anak menenteng alat musik yang terbuat dari bambu. Ada yang berbentuk pipih ada pula yang berbentuk bulat utuh bambu.
Saat mulai dimainkan terdengar alunan bunyi yang unik dari bambu pipih yang ditiup dan bambu bulat yang dipukul. ”Inilah Rinding Gumbeng, alat musik yang kami percaya sudah ada sejak jaman purba dan sudah turun-temurun diwariskan kepada kami” ungkap Sudiyo, pimpinan kelompok ”Ngluri Seni” dari Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul.
Lima belas orang yang memainkan Rinding Gumbeng ini terdiri dari 5 orang meniup rinding, 7 orang memukul Gumbeng, dan 3 orang sebagai sinden (penyanyi-red). Lagu–lagu yang mereka sajikan biasanya adalah lagu–lagu tradisional jawa dan campur sari. ”Rinding Gumbeng ini kami mainkan sebagai ungkapan rasa syukur petani atas hasil panen yang dihasilkan". Permainan Rinding Gumbeng ini dikenal dengan ritual ”Mboyong Dewi Srii” imbuh kakek 70 tahun yang juga penerima KEHATI AWARD 2009 ini.
Ada 3 Kelompok Rinding Gumbeng di Desa Beji, kelompok kasepuhan yang terdiri dari para orang tua, kelompok remaja dan kelompok anak-anak. ”Kami dorong regenerasi pemain Rinding Gumbeng supaya tidak kepaten obor (kehilangan generasi)” papar pimpinan kelompok yang pernah mengajar memainkan Rinding Gumbeng kepada tamu dari Jepang, Australia dan Kanada yang mengunjungi Desa Beji yang juga sebagai Hutan Wisata Wonosadi, tempat di mana komunitas pelestari Rinding Gumbeng ini tinggal. Kelompok Rinding Gumbeng "Ngluri Seni" pernah berpartisipasi dalam Festival Internasional Seni Tradisional di Yogyakarta dan pentas di Taman Mini Indonesia Indah dan Taman Ismail Marzuki.
Liputan Radekka FM
[img][/img]