Konon orang-orang Gunungkidul melihat
pulung gantungbeberapa hari sebelum bencana gempa berkekuatan 5,9 skala Richter
mengguncang Yogyakarta. Sebentuk sasmita alam dalam wujud bola cahaya
sebesar batok kepala berwarna biru kemerahan melayang-layang di
angkasa. Sejak lama orang-orang Gunungkidul percaya
pulung gantungsebagai pertanda musibah maha-dahsyat bakal tiba. Percaya atau tidak,
banyak yang mati gantung diri setelah menyaksikan firasat gaib itu.
Sejumlah penelitian perihal kecenderungan bunuh diri di Gunungkidul
kerap dihubungkaitkan dengan mitos
pulung gantung. Mereka memilih mati lebih dulu, sebelum petaka itu datang, toh nanti juga bakal mati. Begitulah jalan aman yang ditempuh ayah Tini seperti dikisahkan novel
Harga Seorang Wanita (2006) yang saya baca beberapa bulan lalu. Suatu malam, ayah Tini melihat
pulung gantungmeluncur dari langit dan jatuh di atap rumahnya. Esok pagi orang-orang
Desa Wiloso menemukan mayat lelaki itu menggantung di dahan pohon jati,
tak jauh dari rumahnya. Tak lama berselang, bala yang mereka takutkan
sunggguh-sungguh tiba: Desa Wiloso terancam kelaparan. Panen gagal,
wabah busung lapar berjangkit, kemarau berkepanjangan, sawah ladang
retak-rengkah, sapi dan kambing kurus kering karena rumput sukar
didapat. Orang-orang terpaksa makan tiwul. Tapi, bagi Simbok, itu bukan
salah
pulung gantung, bukan pula salah alam Gunungkidul yang tak ramah, melainkan sudah
pepesthen,
kepastian yang tak bisa dielakkan. Miskin, lapar, makan tiwul, dan
bunuh diri adalah takdir. Menjanda setelah kematian suami juga takdir. Di
saat para pengarang kita sibuk membungkus cerita dengan aneka kemasan
yang mengkilat, kinclong, sedap dipandang mata (tapi abai isi),
pengarang buku itu justru mencibirkan segala macam permainan bentuk
yang mengasyikkan itu. Ia justru menukik di kedalaman sumur kemelaratan
di dusun-dusun Gunungkidul. Tengoklah peruntungan Simbok! Tersebab
miskin, suaminya nekat gantung diri (meski dengan dalih
pulung gantung).
Karena miskin, Simbok jadi gundik pamong desa (Wirono), jadi babu dan
pemuas berahi Bendoro. Wajah ayunya jadi bopeng, remuk tak berbentuk.
Disiram air panas oleh Raden Sunartijah (istri Bendoro) saat tertangkap
basah sedang mengeroki Bendoro. Namun,
pulung gantungtak pernah enyah dari hidup Simbok. Lagi-lagi bola cahaya biru
kemerahan itu meluncur dari langit, jatuh di atap usang rumah gedeknya.
Kali ini firasat perihal bala yang bakal menimpa Tini, anak perempuan
satu-satunya. Simbok gelisah sejak Tini mohon izin untuk bekerja di
Yogya. Dalam terawang batin Simbok, pesakitan Tini tinggal menunggu
hari. Cepat atau lambat kembang desa Wiloso itu bakal ditimpa nestapa
sebagaimana disasmitakan
pulung gantung. Pelan-pelan terkuak
juga rasa penasaran Simbok perihal Tini yang tiba-tiba ingin
meninggalkan Gunungkidul. Benar! Ternyata niat merantau bukan kemauan
Tini. Perempuan beranak satu itu tergadai pada Parman, juragan panti
pijat di kawasan Gedongkuning. Ini ulah Jono, suami Tini. Jono harus
menebus sepetak ladang yang tergadai. Bila tidak lekas ditebus, ladang
akan berpindah tangan. Parman tak keberatan meminjamkan uang 10 juta
rupiah, dengan syarat Tini harus bekerja di Griya Pijat Nikmat selama 5
tahun. Apa boleh buat, bagi Tini, ketergadaian tubuh dan dirinya itu
mungkin sudah suratan, sebagaimana takdir Jono yang harus rela istrinya
jadi sundal. Sejak itu Tini bukan gadis desa yang
lugu dan pemalu lagi. Ia berubah jadi perempuan pemberani. Tak gamang
lagi bila berhadapan dengan laki-laki. Tini makin telaten memijat,
makin piawai memuaskan hasrat menggebubung para lelaki hidung belang.
Pelajaran pertama Tini di panti pijat itu adalah merelakan tubuhnya
diperkosa Parman. Perempuan paling ayu di Desa Wiloso itu sama sekali
tidak memberikan perlawanan saat tangan kasar Parman menerkam pinggang
langsingnya.Untuk apa? Lambat laun tetap saja akan diperkosa. Jadi,
dibiarkannya Parman melunaskan dendam masa lalu. Sebelum dipersunting
Jono, Parman pernah datang ke Wiloso. Ia hendak memperistri Tini, tapi
perempuan itu dalam genggaman Jono. Berapakah
takaran "harga" perempuan yang ditawarkan novel itu? Menimbang
kebejatan Wirono, Bendoro, Jono, Parman, atau Andi yang meski berkenan
menyelamatkan Tini (tapi menolak komitmen pernikahan), "jangan-jangan"
tidak ada takaran harga bagi perempuan. Harga Simbok dan Tini hanya
tergantung bagaimana para lelaki memperlakukannya. Seamsal barang
rongsokan, tergantung bagaimana pengguna mengukur manfaatnya. Tak ada
takaran harga pasti. Agaknya, di sinilah pentingnya realitas
keterpurukan Simbok, Tini, dan Murti (anak perempuan Tini dari
perkawinannya dengan Jono) yang digambarkan pengarang dengan cara
bertutur bersahaja. Nestapa Tini seperti mendaur ulang luka lama
Simbok. Bedanya, Tini bukan perempuan yang
nrimo. Baginya, ketertindasan itu bukan karena
pulung gantung(Tini bahkan tak percaya mitos konyol itu), bukan pula karena suratan
takdir, melainkan karena ulah laki-laki. Maka, ia harus melawan, meski
akhirnya tetap kalah (dikalahkan?). Puncak kemurkaan Tini terjadi pada
sebuah malam jahanam saat ia menikamkan belati ke perut Jono, persis
saat suaminya itu sedang berhimpitan dengan Suti, ronggeng dari
Karangnongko. Alih-alih menebus gadaian pada Parman, Jono malah berniat
menikah lagi dengan Suti. Digondolnya tabungan Tini selama bekerja
hampir 5 tahun sebagai pemijat plus. Alhasil, Jono mati bersimbah darah
di tangan istrinya sendiri, Tini meringkuk di penjara. Kalah jadi abu,
menang jadi arang. Tak lama kemudian Simbok bunuh diri setelah melihat
pulung gantung untuk ke sekian kalinya. Nama
pengarang buku itu sesungguhnya Ngarto Februana, tapi yang tertera di
sampulnya hanya Februana (seakan-akan nama perempuan). Seolah-olah kata
Ngarto terlalu
ndeso dan kolot. Padahal realitas yang hendak digambar Ngarto memang
ndeso, melarat, dan kampungan, bukan dunia
teenlit, metropopyang banyak digandrungi akhir-akhir ini. Barangkali tema-tema seputar
kemiskinan, kemelaratan, dan ketertindasan memang sedang "miring"
harganya. Jadi, perlu dikemas sedemikian rupa agar laris di pasaran....
(*)
sumber:http://www.vhrmedia.com/vhr-corner/curhat,Menakar-Harga-Perempuan-15.html