> Deso (baca ndeso) itulah sebutan untuk orang yang
> norak, kampungan, udik, shock culture, Countrified dan
> sejenisnya. Ketika mengalami atau merasakan sesuatu
> yang baru dan sangat mengagumkan, maka ia merasa
> takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus
> menikmati dan tidak ingin lepas, kalau perlu yang
> lebih dari itu. Kemudian ia menganggap hanya dia atau
> hanya segelintir orang yang baru merasakan dan
> mengalaminya. Maka ia mulai atraktif, memamerkan dan
> sekaligus mengajak orang lain untuk turut merasakan
> dan menikmatinya, dengan harapan orang yang diajak
> juga sama terkagum-kagum sama seperti dia.
> Lebih dari itu ia berharap agar orang lain juga
> mendukung terhadap langkah-langkah untuk menikmatinya
> terus-menerus. Hal ini biasa, seperti saya juga sering
> mengalami hal demikian, tetapi kita terus berupaya
> untuk terus belajar dari sejarah, pengalaman orang
> lain, serta belajar bagaimana caranya tidak jadi orang
> norak, kampungan alias deso.
> Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak
> terkecuali dekan atau bahkan Rektorpun ada yang naik
> sepeda datang ke kampus. Sementara si Pemilik
> perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen yang
> sederhana. Ketika beberapa pengusaha ingin memberi
> pinjaman kepada pemerintah Indonesia mereka menjemput
> pejabat Indonesia di Narita. Dari Tokyo naik kendaraan
> umum, sementara yang akan dijemput, pejabat Indonesia
> naik mobil dinas Kedutaan yaitu mercy.
> Ketika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah
> acara ceremoni dari jarak yang sangat dekat, dihadiri
> oleh pejabat setingkat menteri, saya tertarik
> mengamati pada mobil yang mereka pakai Merk Holden
> baru yang paling murah untuk ukuran Australia. Yang
> menarik, para pengawalnya tidak terlihat karena tidak
> berbeda penampilannya dengan tamu-tamu, kalau tidak
> jeli mengamati kita tidak tahu mana pengawalnya.
> Di Sidney saya berkenalan dengan seorang pelayan
> restoran Thailand. Dia seorang warga Negara Malaysia
> keturunan cina, sudah selesai S3, sekarang lagi
> mengikuti program Post Doc, Dia anak serorang
> pengusaha yang kaya raya.
> Tidak mau menggunakan fasilitas orang tuanya malah
> jadi pelayan. Dia juga sebenarnya dapat beasiswa dari
> perguruan tingginya.
> Satu bulan saya di jepang tidak melihat orang pakai hp
> communicator, mungkin kelemahan saya mengamati. Dan
> setelah saya baca Koran ternyata konsumen terbesar hp
> communicator adalah Indonesia. Sempat berkenalan juga
> dengan seorang yang berada di stasiun kereta di
> Jepang, ternyata dia anak seorang pejabat tinggi
> Negara, juga naik kereta. Yang tak kalah serunya saya
> juga jadi pengamat berbagai jenis sepatu yang di pakai
> masyarakat jepang ternyata tak bermerek, wah ini yang
> deso siapa yaa?
> Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang baik di
> jepang atau di Australia, baik dari penampilannya,
> bajunya, kendaraannya, atau rumahnya. Kita baru bisa
> menebak kekayaan seseorang kalau sudah tahu pekerjaan
> dan jabatanya di perusahaan. Jangan-jangan kalau orang
> jepang diajak ke Pondok Indah bisa Pingsan melihat
> rumah segitu gede dan mewahnya. Rata-rata rumah disana
> memiliki tinggi plafon yang bisa dijambak dengan
> tangan hanya dengan melompat. Sehingga duduknyapun
> banyak yang lesehan.
> Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang lagi numpuk,
> rakyat banyak yang mulai ngamuk, Negara sedang kere,
> banyak yang antri beras, minyak tanah, minyak goreng
> dll. Maka harga diri kita tidak bisa diangkat dengan
> medali emas turnamen olah raga, sewa pemain asing,
> banyak ceremonial yang gonta-ganti baju seragam, baju
> dinas, merek mobil, proyek mercusuar, dll, dsb, dst
> Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo utang sudah
> lunas, kelaparan tidak ada lagi, tidak ada pengamen
> dan pengemis, tidak ada lagi WTS (di Malaysia "Wanita
> Tak Senonoh") , angka kriminal rendah, korupsi
> berkurang, punya posisi tawar terhadap kekuatan
> global. Maka orang Deso (alias norak) tidak mampu
> mengatasi krisis karena tidak bisa menjadikan krisis
> sebagai paradigma dalam menyusun APBD dan APBN. Nah
> karena yang menyusun orang-orang norak maka asumsi dan
> paradigma yang dipakai adalah Negara normal atau
> bahkan mengikut Negara maju. Bayangkan ada daerah yang
> menganggarkan Sepak Bola 17 Milyar sementara anggaran
> kesranya 100 juta, wiiieh!
> Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang sangat
> mengerikan dari atas sampai bawah :
> - Orang bisa antri Raskin sambil pegang hp
> - Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok
> - Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untk
> beli tv dan kulkas
> - Orang bule mabuk krn kelebihan uang, Orang kampung
> mabuk beli minuman patungan
> - Pengemis bisa pake walkman sambil goyang kepala
> - Para Pengungsi bisa berjoged dalam tendanya
> - Orang beli Gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah
> - Ijazah S3 luar negeri bisa di beli sebuah rumah
> petakan gang sempit di cibubur
> - Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering
> keluar masuk Mc Donald
> - Kelihatannnya orang penting, ternyata sangat tahu
> detail dunia persepakbolaan.
> - Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk
> mencetin hp
> - 62 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk
> saja
> - Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya
> dansa dansi di acara tembang kenangan.
> - Agar kampanye menang harus berani sewa bokong-bokong
> bahenol ngebor
> - Agar masyarakat cerdas maka sajikan lagu goyang
> dombret dan wakuncar
> - Agar bisa disebut terbuka maka harus bisa
> buka-bukaan
> - Agar kelihatan inklusif mk hrs bisa menggandeng
> siapa saja, kl perlu jin tomang jg digandeng
> Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak
> terlihat kere, maka harus bisa tampil keren. Makin
> kiamatlah kalo si kere tidak tahu dirinya kere.
> *) Penulis adalah Putra Indonesia Asli, kini bertempat
> tinggal di Paris, Perancis dan bekerja sebagai Pembawa
> Acara di salah satu stasiun di Perancis.
Matur suwun....