Forum Komunitas Online Gunungkidul |
|
| Ekonomi Global | |
| | Pengirim | Message |
---|
Anjar Abimanyu Warga
Lokasi : Njakarta Reputation : 0 Join date : 14.08.08
| Subyek: Ekonomi Global Mon Sep 22, 2008 10:53 pm | |
| Rakus Oleh: Goenawan Mohamad
Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk, tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi Oliver Stone. Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya membuat protes sosial dengan cara menyederhanakan soal, menampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, diperankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu bagus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu… menandai gerak maju manusia.”
Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme” tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus juga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapitalisme”.
Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini.
Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meyakinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”, ”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita.
Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak, nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli yang lalu. Majalah The Economist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasaan Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli, Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang baru timbul….”
Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun. Pemerintah memakai kata ”conservatorship”. Artinya, dewan direksi dicopot, pemegang saham praktis disingkirkan, tapi perusahaan itu akan terus bekerja dengan Pemerintah jadi penyangga utangnya. Pendek kata: Pemerintah AS mengambil alih perusahaan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mirip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini di Venezuela.
Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar” dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini terjadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemungkinan jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah?
Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri. Tapi tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Memang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terhadap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International Group)—menunjukkan kian besarnya peran ”Negara” dalam perekonomian Bush.
Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenarnya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara” dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang dilakukan Pemerintah Bush adalah sebuah ”pemerataan” kerugian, bukan ”pemerataan” hak.
Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang ramah kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keambrukan sudah terasa.
Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar” ternyata tak sepenuhnya lagi bisa dipisahkan dengan jelas, apa yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah ”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”?
Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak mudah menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pakar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti memakai mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme” begitu gampang dikatakan.
Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna. Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan ”kebebasan”, perang tak akan padam.
Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang macam Gekko.
Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/09/22/CTP/mbm.20080922.CTP128266.id.html | |
| | | sacho_eka Pengawas
Lokasi : tangerang- banten Reputation : 36 Join date : 03.11.08
| Subyek: Re: Ekonomi Global Sat Jun 16, 2012 8:45 am | |
| bagaimana kita bisa lepas dari kapitalisme???
Pemerintahan demokrasi merupakan pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian sejatinya para pemimpin itu lahir dan besar karena rakyat. Adanya harapan dan keinginan dari rakyat untuk bebas dari penderitaan, sehingga para pemimpin itu lahir dan ada. Para pahlawan kita merupakan pemimpin-pemimpin yang lahir karena harapan rakyat yang tinggi untuk bebas dari cengkeraman kapitalisme-kolonial. Demikian juga para pemimpin pergerakan, baik yang berasal dari kalangan Islam nasionalis, sosialis, maupun marxis, mereka besar karena adanya harapan rakyat untuk lepas dari penindasan. Para pemimpin dari berbagai kalangan tersebut begitu revolusioner dalam memimpin pergerakan rakyat, hingga rakyat pun menjadi revolusioner dalam memperjuangkan harapan dan keinginan mereka untuk lepas dari belenggu kaum penjajah.
Maka akhirnya para pemimpin tersebut mampu mewujudkan harapan rakyat untuk merdeka, lepas dari kapitalisme-kolonial. Kemerdekaan telah menyejukkan dan menyegarkan keletihan jiwa mereka akibat penindasan penjajah selama bertahun-tahun. Namun harapan rakyat untuk bebas dari penindasan tidak hanya berhenti setelah kemerdekaan tercapai. Penindasan dan eksploitasi ekonomi kaum kapitalisme-kolonial selama 350 lebih telah melahirkan kesadaran individual dan kolektif untuk bersatu dalam menciptakan tatanan sosial politik yang menentang keras terhadap setiap bentuk penjajahan/penindasan baik secara lahir maupun batin.
Oleh karena itu harapan rakyat agar jauh dari kesengsaraan tersebut untuk kemudian dirumuskan secara bersama-sama oleh para pemimpin yang intinya menolak paham liberalisme-kapitalis dan komunisme (absolutisme). Sebab kedua paham tersebut memberi peluang yang cukup besar hadirnya para penindas, baik atas nama individu maupun negara. Oleh karena itu penindasan atas nama individu dan negara ditolak oleh para fouding fathers (lihat, Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 jilid pertama, 1959).
Cita-cita rakyat dan cita-cita pemimpin tersebut untuk kemudian melahirkan apa yang disebut cita-cita kemerdekaan yang kemudian dirumuskan untuk menolak setiap bentuk penindasan dan penjajahan, serta menyatakan bahwa negara Indonesia merdeka dan berdaulat. Karena dengan cara itu cita-cita dan tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia akan tercapai (lihat pembukaan UUD 45). Cita-cita tersebut untuk kemudian diderivasikan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 45, seperti kesamaan di depan hukum, kebebasan berserikat dan berpolitik, serta mengenai kesejahteraan sosial seperti tanggung jawab negara terhadap rakyat miskin, serta mengenai demokrasi ekonomi.
Pasal 33 ayat (1) menyatakan, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Hal ini menandaskan bahwa perekonomian Indonesia tidak sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Sebab, mekanisme pasar tak menjamin tegaknya keadilan sosial, terutama bagi rakyat miskin dan terpinggirkan. Oleh karena negara perlu ikut campur dalam perekonomian, dengan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti amanat ayat (2). Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti ditetapkan ayat (3).
Dengan demikian telah terjadi kontrak sosial antara rakyat dengan kekuatan politik manapun dan aliran apapun yang akan memimpin negeri ini (pemerintah). Sehingga pemerintah yang tengah berkuasa wajib hukumnya untuk melaksanakan cita-cita tersebut, dan harus dipertanggungjawabkan pada rakyat pula. Cita-cita tersebut sebenarnya lebih mendekati pada cita-cita demokrasi sosial kerakyatan, bukan demokrasi kaum kapitalis (pasar).
Tinggal Kenangan Namun sayangnya cita-cita tersebut yang telah mencapai usia 66 tahun pada tanggal 17 Agustus 2011 tidak pernah (belum) terwujud. Akibatnya harapan dan cita-cita rakyat untuk bebas dari penindasan tak mampu diwujudkan oleh para pemimpin yang telah dibesarkannya. Para pemimpin orde lama gagal mewujudkan cita-cita rakyat, karena pertikaian politik yang begitu rumit dan sengit.
Demikian juga para pemimpin orde baru dengan tulang punggungnya militer naik dan besar karena adanya harapan rakyat yang menderita pada masa orde lama sempat dielu-elukan rakyat sebagai “ratu adil”. Namun sayangnya harapan rakyat kembali kandas. Ketika sampai ke puncak kekuasaan, ternyata janji untuk memenuhi harapan rakyat tinggal janji, janji keadilan politik dan ekonomi yang didambakan rakyat kembali sirna.
Para pemimpin orde baru lupa diri, militer yang berasal dari laskar-laskar kekuatan rakyat justru menjadi “bodyguard” kekuatan ekonomi asing yang mengeruk kekayaan, sementara rakyat hanya mendapat “sampah-sampahnya” saja. Para pemimpin tersebut justru selalu memojokkan rakyat (kekuatan Islam dan kiri) yang sebenarnya sudah sejak dulu, terlebih Islam berjuang menentang kapitalisme-kolonial. Begitu juga dengan pimpinan kaum sipil yang menyandang predikat orang pintar dengan segala titelnya yang ternyata hanya mengejar pertumbuhan (menumpuk-numpuk harta saja), sedangkan pemerataan (keadilan sosial) terabaikan.
Lahirlah para pemimpin orde reformasi datang dari berbagai kekuatan (Islam, Marxis, Neo-Marxis, dll) dengan senantiasa membela hak-hak rakyat, mendampingi mereka yang tengah tergusur, berteriak keras atas berbagai kebijakan negara yang beraroma kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Derita rakyat yang panjang selama 32 tahun akhirnya mampu dipompa oleh para pemimpin untuk menjanjikan suatu kehidupan yang lebih baik dari kondisi pada waktu orde baru berkuasa. Puncaknya para pemimpin yang didukung oleh harapan rakyat tersebut mampu menumbangkan pintu kekuatan orde baru dengan turunnya Soeharto.
Namun, lagi-lagi harapan rakyat tinggal kenangan, para pemimpin yang lahir dari harapan rakyat akibat derita orde baru justru lupa diri. Para pemimpin justru sibuk untuk merebut kursi kekuasaan, empat kali ganti presiden kehidupan rakyat tidak pernah naik kelas, selalu menderita. Pemimpin yang dipilih rakyat secara langsung pun ternyata setali tiga uang, justru memilih dan berpihak pada kepentingan kaum kapitalis (pasar global) daripada berpihak pada rakyatnya. Demikian pula mereka yang di parlemen, setiap kebijakan selalu ditransaksikan dengan uang dan pemilik uang tentu saja para kaum kapitalis, sehingga banyak kebijakan yang tidak pro rakyat, misalnya undang-undang investasi, undang-undang sumber daya air, dan sebagainya. | |
| | | | Ekonomi Global | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |
|