SEMANGAT "kuntul
baris" adalah sikap atau semboyan kekuatan dalam budaya Jawa yang
merefleksikan pada kebersamaan dalam menghadapi sesuatu masalah.
Artinya, dinamika gotong royong, kerja bakti, semuanya menggunakan
"yel- yel" yang bersemangat itu.
Kenyataan
tersebut bisa dilihat pada kebersamaan pegawai negeri sipil (PNS) di
Kabupaten Gunung Kidul dalam menghadapi musibah kekeringan di wilayah
Pegunungan Seribu.
Menyisihkan
sebagian gaji, dikumpulkan untuk membantu masyarakat yang dilanda
kekeringan. Meskipun baru tahun ini dilakukan, sementara kekeringan
menahun sudah berlangsung puluhan tahun, tapi langkah itu rasanya tidak
terlambat ketika niat tersebut menjadi sebuah kesadaran bersama.
Basuki Rochim,
Sekretaris Penanggulangan Bencana Kekeringan Kabupaten Gunung Kidul,
mengatakan, memang tidak semua PNS diimbau menyisihkan sebagian gajinya
untuk membantu kekeringan ini. Kebijaksanaan bupati hanya khusus kepada
pegawai yang memiliki jabatan struktural. Untuk eselon lima diimbau
menyisihkan Rp 25.000 dan tertinggi eselon dua Rp 200.000.
"Dari sekitar 600
pejabat struktural, terkumpul Rp 21,5 juta. Itu bisa digunakan 48 dusun
dan setiap dusun menerima sekali saja," tegasnya.
Pengumpulan dana
dari pejabat struktural ini tidak hanya sekali saja. "Karena kekeringan
diperkirakan sampai bulan November," tandasnya.
KEKERINGAN di
Kabupaten Gunung Kidul tahun ini terasa lebih parah dibanding tahun
lalu. Seperti data yang ditunjukkan Satgas Penanggulangan Kekeringan
Kabupaten Gunung Kidul, tahun ini penderita kekeringan berada di 21
dusun. Dengan demikian, jumlah penderita kekeringan tahun ini 29.980
keluarga atau 119.045 jiwa. Dari jumlah itu, 22.999 keluarga atau
93.928 jiwa dalam kriteria miskin.
Warga yang
dilanda kekeringan berada di 10 kecamatan, 51 desa atau 271 dusun.
Karena kondisi medan yang sulit karena tanah berbatu, droping air
menggunakan mobil tangki bukan persoalan gampang.
Peningkatan
penderita kekeringan itu tidak hanya bisa dibuktikan oleh angka-angka,
tapi juga keparahan penderitaan rakyat dalam mendapatkan air. Kini
muncul utang air atau kredit air sebagai model baru penduduk memperoleh
air.
Kredit atau utang
air ini umumnya dilakukan kalangan swasta. "Namanya utang, harganya
juga tinggi, sampai Rp 100.000 per tangki berisi 5.000 liter air" kata
Sutarno, warga Karangawen, Girisubo.
Selain di
kecamatan Girisubo, model utang air ini juga terjadi di Kecamatan
Semanu dan Tepus. Umumnya pembayaran utang air ini dilakukan pada musim
panen tahun mendatang. Adapun model kredit air juga terlihat di
Kecamatan Panggang. Model kredit ini umumnya dilakukan oleh masyarakat
yang pergi ke kota menjadi buruh atau kerja apa saja.
"Jadi, setiap
kali mereka pulang, sebagian hasil mereka digunakan mencicil pembelian
air," kata seorang perempuan di Desa Panggang.
Dalam satu dusun,
soal kredit air bisa mencapai 10 hingga 15 orang. Dan setiap penduduk
sudah ada yang utang air 2-3 tangki. "Saya sudah melayani puluhan
pengutang di berbagai dusun," kata Edy, pedagang air swasta yang
beroperasi ke berbagai desa.
Meskipun
perdagangan air dengan kredit ini ada yang dilandasi pengabdian,
sebagaimana dilakukan Edy, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
pengusaha yang justru memanfaatkan masyarakat yang menderita. (Th Pudjo
Widiyanto)
sumber;http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0308/16/daerah/497362.htm