Mencari pengganjal perut di "gudang" makanan di kawasan Pancoran, Glodok, Jakarta Barat, tidak lah sulit. Jika rajin menelusuri jalan di kawasan itu, maka akan ada saja makanan unik ditemukan. Akan ada banyak cerita di balik keberadaan warung-warung makan di sana.
Maklum, usia warung itu rata-rata sudah puluhan tahun. Jika ditambah makanan non halal, yang sangat mudah ditemukan di sana, kumpulan makanan di tempat ini lebih dari cukup untuk menyebut kawasan itu sebagai pusat wisata kuliner.
Dibandingkan jalur wisata kuliner Sabang, Jakarta Pusat, makanan yang ditawarkan di Pancoran jauh lebih beragam. Lebih dari itu, kawasan ini menawarkan suasana dan nuansa lain sebagai kawasan Kota Tua.
Sayangnya kawasan itu hanya hidup jika matahari masih mencorong saja. Begitu matahari lelap, tempat ini hanya sedikit hidup dengan sedikit warung yang buka hingga sekitar pukul 22.00 saja.
Padahal sebelum kerusuhan Mei 1998 terjadi, tempat ini hidup hingga lewat tengah malam. Apalagi ketika bioskop di kawasan ini masih beroperasi, bisa dibilang tempat ini hidup 24 jam sehari.
Salah satu dari sedikit warung atau pedagang yang mulai berdagang mulai sore hingga pukul 22.00 adalah Warung Kepiting Soka. Letaknya di ujung Jalan Pancoran, di mulut Jalan Pancoran IV, dan tak jauh dari Jalan Toko Tiga serta Jalan Pintu Kecil.
Di dekat gardu di lokasi itu, Andri Kustanto, dengan tekun setiap menjelang petang masih terus melanjutkan warung warisan Kam Bun Ciau, sang ayah.
Keong macan
Kepiting soka, bukanlah satu-satunya menu makanan yang ditawarkan di warung tenda ini. Kerang dan keong macan bisa jadi cemilan. Nasi tim, bubur, hingga rujak shanghai pun bisa dinikmati di sini. Tapi bisa dibilang, sejak 61 tahun lalu, kepiting soka yang digoreng kering yang menjadi primadona.
Buat mereka yang belum paham apa itu kepiting soka, ini adalah kepiting yang sedang berganti kulit sehingga semua cangkangnya bisa dilepas dengan mudah untuk kemudian tersisa daging saja.
Daging kepiting inilah yang kemudian diberi bumbu rahasia yang sudah berusia lebih dari setengah abad, selanjutnya digoreng dalam minyak panas hingga kering. Rasanya krenyes krenyes renyah seperti keripik, gurih, dan semua bagian kepiting soka bisa dimakan.
Soal harga tentu saja tergantung ukuran. Paling murah Rp 20.000/ekor dengan berat kepiting sekitar 1,5 ons. Tapi kepiting soka di sini rata-rata berukuran 2 ons dengan harga Rp 30.000. "Kadang ada juga yang ukuran setengah kilogram tapi jarang," ujar Andri.
Untuk merasa puas pelanggan biasanya makan dua sampai tiga ekor kepiting. Sebab ukuran kepiting soka mungil sehingga makan sepotong tak kan pernah cukup. Kepiting soka segar yang setiap hari menanti pelanggan, diambil dari Bone, Banjarmasin, Balikpapan, dan Lampung.
"Kami jual fresh semua. Kalau sampai ada lebih, kita kupas, kita jual ke restoran. Besok kita beli lagi yang fresh," kata Andri. Selain kepiting soka, ada pula keong macan. Ini hanya tambahan untuk ngemil sambil menunggu makanan disajikan. Kerang itu disebut keong macan karena rumah atau kulitnya bercorak bagaikan kulit macan rasa dagingnya kenyal.
Selain kepiting soka, menu lain yang juga legendaris adalah rujak shanghai. Di seputaran Pancoran Glodok ada dua pedagang rujak shanghai, selain racikan Kam Bun Ciau, ada juga rujak shanghai Encim yang terkenal.
Menurut Andri, ketika pertama kali ayahnya membuka kedai, kepiting soka dan rujak shanghai adalah menu pertama yang dijual dan hingga kini paling banyak dicari. Sekali lagi, jangan salah waktu karena warung ini tak buka di siang hari. Warung ini mulai buka pukul 17.00 sampai sekitar pukul 22.00 setiap hari.
artikel/foto: Warta Kota/Pradaningrum Wijarto
© 2008 Kompas
Keong Macan
Kepiting Soka Goreng