Lakon ini seakan merupakan “lakon wajib” bagi dalang untuk membawakannnya. Disamping menarik, lakon ini memberikan pesan moral yang gampang dimenerti kendati mengandung nilai-nilai filosofis “khas kejawen”. Hampir semua dalang pernah membawakan cerita ini dengan versi dan kreativitas masing-masing, tak terkecuali Ki H Anom Suroto. Oleh karena itu lakon ini banyak dikenal oleh masyarakat pecinta wayang kulit.
Dari sampul kaset dan ijin produksinya, kaset ini direkam pada tahun 1985, Duapuluh lima tahun atau seperempat abad sudah Ki H Anom Suroto membawakan cerita ini. Akan tetapi ketika saya mendengarkan sembalri mengconvert cerita ini, terasa masih sangat segar ide-ide yang dilontarkan olehnya. Hanya saja, mendengarkan wayang akan lebih sangat menarik apabila dikaitkan dengan suasana aktual yang terjadi pada masa itu.
Mendengarkan cerita ini, seakan kita dibawa pada suasana dimana Negara Indonesia masih “ayem tentrem” tanpa gejolak baik politik, ekonomi maupun sosial (tentu saja dalam pengertian praktis, bukan subsatnsi). Pesan-yang ada didalam dialog antar tokoh sepanjang pagelaran, tak menggambarkan adanya “kegundahan” hati masyarakat Indonesia. Tak ada century, tak ada kerusuhan, tak ada pemakzulan, tak ada debat politik, tak ada perang media. Pendeknya, yang tergambar dalam angan-angan adalah nonton wayang ditengah kehidupan warga masyarakat yang rukun, ayem tentrem dan tanpa rasa curiga mencurigai. Kesulitan ekonomi yang dihadapi punakawan dalam adegan goro-goro menunjukkan kewajaran, bukan ketakutan. Ahh, ini kok malah ngelantur……………..
Diceritakan, bahwa untuk kepentingan “mbangun kayangan” , Ki Lurah Semar bermaksud meminjam Jamus Kalimasada kepada Prabu Puntadewa. Oleh karena itu, dia mengutus Petruk untuk menghadap Sang Prabu guna menindak lanjuti rencana tersebut. Pada saat yang sama Pendita Durna dan Patih Sakuni menyampaikan pesan sebagai utusan Prabu Duryudana, untuk _juga- meminjam Jamus Kalimasada sebagai sarana memulihkan “dahuru” yang menimpa Kerajaan Astinapura.
Tentu saja, Prabu Puntadewa menjadi “ewuh aya ing pambudi” kepada siapa Jamus Kalimasada akan dipinjamkan. Prabu Kresna yang berada di pasewakan karena diundang Prabu puntadewa, mengambil langkah bijak agar masing-masing menunggu di alun-alun, sementara keputusan akan dimusyawarahkan terlebih dahulu. Kresna pergi ke Kahyangan Jonggring Saloka guna menghadap Betara Guru agar diberikan petunjuk menyelesaikan permasalahan ini dengan cara yang tepat. Sambil menunggu kedatangan Sri Kresna, Prabu Puntadewa menemui para utusan dan memberikan syarat bagi siapapun yang bermaksud meminjam Jamus Kalimasada, yaitu berupa “Kembang Turangga Jati”. Siapapun, baik Semar maupun Duryudana bisa membawa Jamus Kalimasada asalkan berhasil memetik “Kembang Turangga Jati”.
Ngersaaken mirengaken ngantos paripurna download mawon ing :
FORUM BUDAYA JAWA