APAKAH
tantangan yang kita hadapi berbeda dengan tantangan yang dihadapi
orang-orang sebelum kita? Sekilas mungkin ya, tetapi jika kita mau
mencermati lebih jauh, rasanya tak ada perubahan yang bersifat prinsip.
Hari ini sebagian orangtua mungkin sedang resah oleh hiruk-pikuk
pornografi yang beredar melalui perangkat elektronik di sekitar kita.
Tetapi jika kita mau jujur, generasi sebelum kita juga menghadapi
tantangan serupa dalam mendidik anak-anak mereka. Hanya saja bentuknya
beda. Sekarang sebagian anak menyaksikan pornografi melalui HP,
sedangkan dulu melihat di sungai-sungai atau pemandian umum.
Apakah
situasi zaman kita benar-benar sangat berbeda dibanding zaman-zaman
terdahulu? Jika benar zaman kita sangat berbeda, niscaya tak ada lagi
gunanya kitab suci.
Begitu pula berbagai pedoman pendidikan yang ditulis orang-orang
terdahulu, tak ada satu pun yang dapat kita ambil sebagai petunjuk.
Kita benar-benar menghadapi situasi yang tak dapat kita rumuskan dan
karena itu tidak dapat kita duga apa yang akan terjadi. Kita harus
memiliki acuan yang sama sekali baru. Tetapi apa yang menjadi dasar dari
acuan yang sama sekali baru tersebut? Jika kita mendasarkan pada
teori-teori yang telah ada, berarti kita meyakini bahwa ada
prinsip-prinsip dasar yang berlaku untuk berbagai zaman yang berbeda.
Jadi,
apakah zaman kita sekarang ini benar-benar berbeda? Jika kita meyakini
agama ini berlaku hingga akhir zaman, maka kita harus menemukan bahwa
sesungguhnya tak ada perubahan yang benar-benar berbeda. Prinsip-prinsip
dasar tidak mengalami perubahan. Tetap. Bentuk-bentuk tantangannya saja
yang berbeda.
Prinsip-prinsip dasar inilah yang perlu kita
ketahui, kita pegangi dengan sungguh-sungguh dan kita jadikan pedoman
dalam menyiapkan bekal bagi masa depan anak.
Kita mencatat bahwa
di setiap zaman, di satu tempat yang sama lahir orang-orang baik maupun
orang-orang buruk. Ini berarti, betapa pun lingkungan sangat
berpengaruh, tetapi yang paling berperan adalah bagaimana orangtua
membekalkan nilai-nilai hidup kepada anak. Bukan lingkungan. Bukan zaman
saat ia dibesarkan.
Masalahnya adalah, banyak orangtua yang
hanya bersibuk membangun keterampilan dan kemampuan kognitif. Itu pun
terkadang lebih dangkal lagi, yakni sekedar prestasi akademik yang
kerapkali tidak menunjukkan kompetensi anak, melainkan sekedar kemampuan
mengerjakan soal.
Jika anak-anak kita besarkan dengan
keterampilan, kemampuan kognitif dan fasilitas semata, mereka akan
kehilangan arah begitu menginjak usia remaja atau bahkan sebelum itu.
Anak-anak itu tidak bisa mengarahkan dirinya sendiri karena tidak
memiliki prinsip-prinsip hidup yang kuat, orientasi hidup yang baik dan
nilai hidup yang benar-benar berpengaruh. Tentu saja bukan berarti kita
mengabaikan kemampuan kognitif. Tetapi menyibukkan diri dengan aspek
kognitif tanpa memperhatikan bagaimana menanamkan nilai-nilai kepada
anak, akan membuat mereka kehilangan arah. Tak punya pegangan. Mereka
akan menjadi orang yang sangat mudah dipengaruhi oleh trend. Apa yang
sedang hangat diperbincangkan, itulah yang menyita perhatian.
Saya teringat dengan tulisan David Shenk dalam bukunya yang bertajuk Data Smog. Sebagaimana
tergambar dalam judulnya, Shenk secara khusus membahas tentang apa yang
terjadi jika pikiran kita banyak dijejali dengan data-data yang tidak
kita perlukan.
Semakin banyak kotoran data (data smog), semakin
mudah kita kehilangan arah, semakin mudah pula kita bersikap reaktif
terhadap apa-apa yang sedang terjadi. Pikiran kita dibentuk dan
ditentukan oleh media. Sebegitu kuatnya media massa mempengaruhi
sehingga seakan-akan telah menjadi tuhan, atau kita bahkan telah
mempertuhankan media massa tanpa kita sadari. Lihat saja, apa yang
terjadi ketika media massa menyerukan untuk bangun malam menyaksikan
siaran langsung sepak bola.
Lalu apa yang bisa kita petik? Dalam
situasi ketika banjir informasi sedang mengepung kita, justru orangtua
perlu lebih serius membekali anak-anak dengan orientasi hidup yang
jelas. Akar dari orientasi hidup itu adalah keimanan kepada Allah
Ta’ala. Bukan sekedar pengetahuan tentang agama. Masalahnya adalah,
anak-anak kita semakin kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan
beragama. Yang disebut dengan PAI (pendidikan agama Islam) seringkali
hanya berarti pengetahuan umum tentang agama atau bahkan pelajaran
menghafal materi-materi agama. Lagi-lagi, kita lebih mengedepankan
pendekatan kognitif. Padahal, penguasaan secara kognitif tidak banyak
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku.
Berakar pada keimanan,
kita harus membangun keyakinan yang kuat dalam diri anak terhadap
syari’at Allah. Tak ada keraguan sedikit pun. Kita belajar bahwa
al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan penjelas dari
petunjuk-petunjuk tersebut. Tetapi apakah setiap manusia dapat mengambil
petunjuk darinya? Tidak. Yang dapat mengambil petunjuk hanyalah mereka
yang yakin dan tidak ada keraguan dalam dirinya.
Sekali lagi, ini
bukan soal kemampuan kognitif. Ini adalah soal keyakinan. Penjelasan
panjang lebar tidak memberi manfaat apa-apa selain hanya menambah
pengetahuan jika mereka tidak yakin. Tetapi jika kita memiliki keyakinan
yang kuat, maka bertambahnya pengetahuan akan menambah kuatnya
keyakinan.
Satu lagi yang harus kita bangun dalam diri anak: budaya belajar. Pilarnya adalah membaca, khususnya membaca yang bertujuan (purposive reading). Bukan menonton.
Muhammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting
sumber :http://hidayatullah.com
Hikmah :
Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu
negeri maka mereka (penghuninya) sudah menghalalkan atas mereka sendiri
siksaan Allah. (HR. Ath-Thabrani dan Al Hakim)