Berurusan dengan proses hukum dan aparat penegak hukum itu berbiaya mahal. Entah sejak kapan stigma seperti ini tertanam di benak masyarakat. Terutama masyarakat di desa dimana saya tinggal.
Terlepas stigma ini beralasan atau tidak, tetapi hal ini mudah diamati dari keengganan sebagian masyarakat untuk memperjuangkan keadilan melalui jalur hukum. Mereka tidak mau ketika sudah jatuh masih tertimpa tangga. Apabila mereka sedang tersandung masalah mereka akan lebih memilih untuk mencari penyelesaian di luar jalur hukum, menyelesaikan dengan cara mereka sendiri. Dan bilapun mereka gagal atau tidak menemukan solusi atas rasa keterdzaliman yang diderita, maka mereka pun akan memilih diam.
Saya berusaha mengerti sikap sebagian masyarakat ini terjadi di tengah – tengah mereka yang belum sejahtera dalam pendidikan dan ekonomu, akses informasi yang terbatas masih menjadi barang mewah. Dan “mungkin” juga kultur masyarakat yang terbiasa menerima ketertindasan sebagai sesuatu yang “sudah biasa” dan nrimo.
Itu saja?
Tidak. Stigma ini terus mengakar karena bisa dijadikan komoditas bagi kaum dan golongan tertentu. “Daripada masalah ini dinaikan ke jalur hukum dan menghabiskan banyak uang, lebih baik datang saja ke rumah saya“, jadi jangan heran bila suatu ketika kita mendengar ada oknum yang ngomong seperti itu.
Suara – suara mirip seperti ini terdengar ketika beberapa hari yang lalu di desa dimana saya tinggal terjadi tindak kekerasan sampai pada akhirnya keluarga korban berinisiatif menyelesaikan masalah ini dengan jalur hukum. Perlu diketahui bahwa pelaku masih ada hubungan keluarga dengan tokoh masyarakat. Sedangkan korban berasal dari keluarga kurang mampu dan kurang pendidikan. Sekali lagi saya maklum atas sikap sinis sebagian masyarakat akan upaya hukum yang ditempuh oleh keluarga korban.
Dari apa yang saya pelajari dari bangku sekolah dan saya yakini sampai sekarang, hukum positif dibuat dengan niatan yang baik dan pertimbangan ideal yang tinggi, tanpa bermaksud memandang sebelah mata upaya – upaya non formal seperti inisiatif damai sebelum proses hukum dijalankan. Meskipun keyakinan saya akan idealisme hukum itu sendiri bukan serta merta dibarengi keyakinan saya akan proses hukum yang pasti mulus tanpa aral menuju suatu keadilan.
Ketidakyakinan akan proses hukum ini mendorong saya untuk mulai mendokumentasikan apa yang ada dalam pikiran saya mengenai proses penyelesaian masalah ini dengan menuliskanya di twitter dan facebook. Maksud saya agar apa yang saya curhatkan itu mendapatkan feedback dari teman – teman saya di social media.
Saya mulai menuliskan apa yang saya pikirkan mulai dari bagaimana saya melihat upaya penyelesaian oleh pemerintah desa, pelaporan ke kantor Polsek, pemeriksaan korban yang dilakukan pada pagi hari berikutnya dan Insya Allah saya akan terus menuliskan sepanjang yang saya ketahui sampai kasus ini mendapatkan putusan oleh pengadilan.
Jujur, harapan saya mengenai penyelesaian kasus ini baru terbersit setelah melihat bagaimana penyidik dari Polsek memeriksa korban di rumah korban. Harapan itu muncul setelah saya tahu jenis berita acara yang dibuat oleh penyidik adalah berbeda tipe dengan berita acara yang dibuat pada petang hari ketika kami melakukan pelaporan. Menyusul kabar baik selanjutnya ketika pada siang hari itu juga ”saya” bersama pelapor diminta datang ke Polsek. Saya juga ditemani Bagong “Ersad”. Di Kantor Polsek saya mendapatkan penjelasan lengkap dari Kapolsek mengenai progress dari pemrosesan kasus ini termasuk bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam, pelaku sudah ditetapkan secara resmi sebagai tahanan Polres dan pada siang hari itu juga penyidik akan meminta keterangan tambahan dari korban agar secepatnya BAP dapat terselesaikan. Bapak – bapak polisi juga menunjukan kepada saya selembar kertas yang berisi print – out posting saya di twitter. (loh) Syukurlah pihak kepolisian berkenan mendengarkan aspirasi masyarakat yang disalurkan di ranah dunia maya.
Catatan penting bagi saya, sampai proses ini pelapor sama sekali tidak dikenakan biaya oleh pihak berwajib terkait kasus ini. Sepanjang yang saya tahu, keluarga korban hanya mengeluarkan uang untuk membeli materai. Tentu saja biasa transportasi untuk hilir mudik antara rumah – kantor polisi harus ditanggung sendiri.
***
Rasanya posting ini sudah sangat panjang. Mudah – mudahan saya dapat menuliskan kelanjutan dari proses penyelesaian hukum akan kasus ini dengan lebih baik.
Update :
Terdakwa Mardiman, akhirnya, oleh Pengadilan Negeri Wonosari, divonis dengan 5 tahun penjara potong masa tahanan. Terimakasih kepada Kapolsek Paliyan, bapak AKP Rachmadiwanto, SH beserta jajaran yang telah menyelesaikan kasus pelecehan seksual yang terjadi di desa Grogol kecamatan Paliyan kabupaten Gunungkidul dengan baik.
Semoga dengan terselesaikanya dengan baik kasus ini, bisa menjadi pendidikan positif bagi warga desa Grogol khususnya dan istimewanya kepada para perangkat desa Grogol bahwa menyelesaikan permasalahan secara hukum tidaklah menghabiskan banyak uang alias mahal.
Semoga di desa Grogol tercinta kasus – kasus kriminal seperti ini tidak terulang lagi di masa depan karena telah terciptanya masyarakat yang berkesadaran dan ketaatan hukum yang tinggi.
Lebih lanjut, baca di http://jarwadi.wordpress.com/2010/10/15/hukum-tidak-identik-dengan-biaya-mahal/