Forum Komunitas Online Gunungkidul |
|
| CERITA WAYANG 1 | |
| | Pengirim | Message |
---|
zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:00 pm | |
| BIMA DAN DEWA RUCI atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
PENDAHULUAN Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).
Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).
Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44; Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh. Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.
Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru
Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.
Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru
Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat
Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat
Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.
Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).
Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126). Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).
Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya
Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.
Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).
Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.
Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong
Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat. Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.
Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya
Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya
Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya. Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.
Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya
Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui. Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya. Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan
Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.
Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar
Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).
Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat
Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.
Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).
Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.
Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak
Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu. Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94). Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat
Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai
Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat. Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya
Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar
Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
Kesimpulan
Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’. Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia
Terakhir diubah oleh zelda tanggal Wed Jan 06, 2010 2:09 pm, total 1 kali diubah | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:05 pm | |
| Aji Narantaka 1
Beberapa tahun sebelum pecah Baratayuda, tanpa izin dari para Pandawa, Gatotkaca mengajak saudara-saudaranya, para putra Pandawa, mengadakan latihan perang di Tegal Kurusetra.
Latihan perang ini dianggap sebagai provokasi oleh pihak Kurawa. Prabu Anom Duryudana lalu memerintahkan para putra Kurawa di bawah pimpinan Dursala, putra Dursasana, untuk membubarkan latihan perang itu.
Di Tegal Kurusetra Dursala menyampaikan perintah Duryudana untuk bubar. Gatotkaca dan saudara-saudaranya menolak perintah itu. Akibatnya pecah perang di antara mereka. Dalam perang tanding, Dursala menggunakan Aji Gineng, sehingga Gatotkaca toboh, terluka berat. Para putra Pandawa mengundurkan diri dari gelanggang, sedangkan Antareja membawa tubuh Gatotkaca ke tempat yang aman. Antareja lalu mengobati Gatotkaca hingga sembuh.
Setelah sembuh Gatotkaca bertekad untuk membalas kekalahannya. Ia lalu berguru pada Resi Seta. Sang Resi memberinya ilmu sakti bernama Aji Narantaka.
Dalam perjalanan mencari Dursala untuk membalas dendam, Gatotkaca bertemu dengan Dewi Sumpani.
Wanita ini ingin diperistri, tetapi Gatotkaca memberi syarat, jika wanita itu dapat menahan pukulan dengan Aji Narantaka, Gatotkaca bersedia memperistrinya. Dewi Sumpani ternyata kuat, karena itu Gatotkaca menerimanya sebagai istri.
Setelah bersua dengan Dursala, terjadi lagi perang tanding di antara mereka. Dursala kalah dan tewas seketika terkena Aji Narantaka.
Aji Narantaka 2
Di Negara Astina Prabu Duryudana, Patih Harya Sangkuni dan kerabat kerajaan Astina sedang membicarakan perihal berdiamnya keluarga Pandawa di Tegal Kuru Setra, ini menunjukan bahwa negara Astina segera ingin dikuasai lagi pihak Pandawa.
Untuk mengembalikan Negara Astina kepihak Pandawa, Prabu Duryudana merasa sayang dan tidak rela, untuk itu segala daya upaya dicari untuk membinasakan keluarga Pandawa agar tidak selalu mengusik-usik negara Astina yang memang menjadi haknya.
Begawan Dorna lalu mengusulkan agar Dursala muridnya dapat diberi tugas tersebut. Tetapi sebelum Dursala pergi ke Tegal Kuru Setra untuk membinasakan pihak Pandawa, Dursala harus tanding lebih dahulu dengan Prabu Baladewa, sebab Prabu Baladewa menyangsikan kemampuan dan kesaktian R.Dursala.
Setelah perang tanding dengan Prabu Baladewa, maka dengan diiringi bala tentara Kurawa berangkatlah R.Dursala ke Tegal Kuru Setra.
Kedatangan R.Dursala di Tegal Kuru Setra menjadikan keributan dan perkelahian, namun para putra Pandawa dan Pandawa tak satupun mampu menandingi kesaktian R.Dursala. Dengan Aji Gineng pemberian gurunya (Pisaca ), R.Dursala mengalahkan semua kerabat Pandawa.
Kemampuan Aji Gineng bila digunakan dan mengenai seseorang, maka orang yang terkena aji Gineng akan hancur lebur, dan R,Gatotkaca terkena aji Gineng tidak mampu menahanya dan gemetar tubuhnya.
Dengan sisa-sisa tenaganya R.Gatotkaca melarikan diri untuk menghadap Resi Seta. Oleh Resi Seta, R.Gatotkaca diberi Aji Narantaka untuk menandingi Aji Gineng milik R.Dursala. Setelah mendapatkan kesaktian dan aji Narantaka, R.Gatotkaca kembali menemui Dursala.
Melihat kedatangan R.Gatokaca, Dursala lalu menghantamnya dengan aji Gineng namun dapat ditangkis dengan aji Narantaka milik Gatotkaca. Benturan Aji Gineng milik R.Dursala dan Aji Narantaka milik R.Gatotkaca menimbulkan suara yang dahsyat. Akhirnya Aji Gineng tidak dapat mengalahkan Aji Narantaka milik Gatotkaca, akibatnya tubuh R.Dursala hancur lebur terkena hantaman Aji Narantaka. Dengan kematian R.Dursala, bala tentara Kurawa kucar-kacir dan melarikan diri kembali ke negara Astina untuk memberi kabar kematian R.Dursala.
Gatotkaca dengan memiliki Aji Narantaka, sesumbar barang siapa wanita yang mampu menahan Aji Narantaka miliknya, ia akan diperistri. Ternyata Dewi Sampani mampu menahan Aji Narantaka miliknya, maka diperistrilah Dewi Sampani dan berputra Jaya Sumpena. | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:06 pm | |
| AJARAN SUNAN KALIJAGA TENTANG CUPU MANIK ASTAGINA Salah satu peninggalan dari nenek moyang kita, yang perlu diuraikan agar menjadi pedoman hidup menuju masyarakat yang sejahtera adalah Asta-brata. Asta artinya delapan, brata artinya tindakan. Jadi, Asta-brata dapat diartikan sebagai delapan macam tindakan. Asta-brata ini diambil dari inti sari wasiat Cupu Manik Asta Gina, atau pegangan hokum bagi para dewa. Konon dengan berpegang pada hokum ini, para dewa dapat memimpin umat manusia menuju kesejahteraan dan kedamaian.
Kalau setiap orang, terutama para pemimpin, berpegang pada asta-brata, maka masyarakat yang sejahtera tidak mustahil terwujud di bumi ini. Adapun asta-brata secara mudah dan jelas digambarkan atau diwujudkan dalam rupa :
1. Wanita: wanita, 2. Garwa; jodoh 3. Wisma : rumah 4. Turangga : kuda tunggangan 5. Curiga : keris, atau senjata 6. Kukila : burung berkutut 7. Waranggana : ronggeng- penari wanita 8. Pradangga : gamelan-bebunyian berirama
Orang atau pemimpin yang utama harus memiliki (mengalami) delapan hal tersebut diatas.Banyak orang yang salah paham, berusaha mempunyai delapan rupa tersebut dalam wujud sebenarnya. Hal demikian ini takkan terwujud. Sesungguhnya delapan hal tersebut sekadar kiasan, dan bukan berarti setiap orang harus memiliki barangnya, tetapi memiliki atau mengalami arti dan wangsitnya.
Wanita, artinya seorang perempuan, yang elok dan cantik, siapapun yang melihat pasti ingin memilikinya. Maka yang dimaksud dengan wanita ini adalah suatu keindahan, sebuah cita-cita yang tinggi. Agar cita-cita itu dapat tercapai, maka orang perlu berusaha sekuat tenaga, belajar, tirakat dan sebagainnya, sebagaimana seorang pemuda yang ingin menggaet dan memiliki gadis cantik.
Garwa, artinya jodoh, suami istri, yang sehati. Garwo sering diartikan sigaraning nyawa, belahan jiwa, jiwa satu dibelah dua atau dua badan satu nyawa. Jadi garwa mengandung arti bahwa setiap orang harus dapat menyesuaikan diri, bisa bergaul dengan siapapun, semua orang dianggap sebagai kawan, hidup rukun dan damai, mencintai sesama, tidak membeda-bedakan orang. Semuanya dianggap sebagai garwa, teman sehidup semati.
Wisma, artinya rumah. Rumah adalah tempat berlindung memiliki ruangan yang luas berpetak-petak untuk menyimpan aneka macam barang. Semuannya dapat dimasukkan kedalam rumah. Demikianlah, setiap orang hendaknya bersifat rumah, yakni dapat menerima siapapun dan membutuhkan perlindungan, sanggup menyimpan dan mengatur segala sesuatu, pun dapat mengeluarkan pikiran dan bertindak bijaksana dan teratur menurut tempat, waktu dan kedaannya.
Turangga, berarti kuda tunggangan, yang kuat dan bagus. Kuda tunggangan bisa berlari cepat, bisa berlari pelan, bisa berjalan sambil menari-nari. Sebaliknya kuda tunggangan juga bisa berlari cepat dengan arah yang tak menentu, bisa terguling kedalam jurang, tergantung orang yang memegang tali kekang. Demikian halnya diri: badan jasmaniah, panca indra dan nafsu kita merupakan kuda tunggangan. Sedangkan jiwa adalah pengendaranya. Bila jiwa dapat menguasai, mengatur dan mengekang diri, maka pergaulan hidup kita akan teratur dengan baik. Sebaliknya, bila jiwa tak dapat menguasai diri, maka hidup kita akan seperti kuda tunggangan yang liar, berlari kesana kemari dan akhirnya tergelincir.
Curiga, artinya keris, senjata tajam yang dipuja-puja. Maka perlulah tiap orang terutama para pemimpin memiliki persenjataan hidup yang lengkap, kepandaian, keuletan, ketangkasan dan lain-lain. Begitu pula pikiran harus tajam, mampu menebak dengan dengan tepat, agar dapat bertindak tepat pula untuk kebahagiaan masyarakat.
Kukila, artinya burung, burung berkutut yang dipelihara di Jawa, untuk didengarkan suaranya, yang merdu, enak didengar, menentramkan sanubari. Demikianlah, setiap kata yang keluar dari mulut hendaknya enak didengar, lemah lembut, menentramkan orang yang mendengarkannya. Setiap kata yang keluar harus tegas dan bersifat memperbaiki dan membangun, agar siapapun yang mendengar bisa terpikat dan mengindahkannya.
Waranggana, artinya tandak atau ronggen, untuk pandangan waktu menari. Pada zaman dewa-dewa, ini disebut Lenggot-bawa. Peraturannya seperti ini : seorang warangga menari di tengah kerumunan orang, bersama seorang lelaki yang ikut menari. Diempat penjuru ada penari laki-laki yang menari, seakan-akan ikut menggoda si waranggana agar memalingkan mukanya dari yang lelaki yang tengah menari.
Maknah gambaran di atas adalah: dalam usaha meraih cita-cita yang muliah ( waranggana), pasti akan banyak kita jumpai godaan yang mencoba menghalang-halangi pencapaian cita-cita tersebut. | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:21 pm | |
| MENANTU WISNU Raja Bismaka duduk di atas singgasana, dihadap oleh Yudhistira, Bima, Nakula, Sadewa serta para menteri Negara Kumbina. Tidak beberapa lama, datanglah raja Duryodana mengawal Pendeta Drona, untuk melamar Dewi Rukmini. Raja menerima kedatangan mereka dengan hormat. Setelah mengutarakan maksudnya, Raja Bismaka memohon agar wakil dari pelamar yang dipimpin oleh Duryodana menebak makna teka-teki sayembara. Pendeta Drona menjelaskan makna teka-teki. Jawaban Pendeta Drona dianggap benar oleh raja Bismaka. Pendeta Drona disambut oleh raja, supaya masuk ke Taman Keputren, dikawal oleh Rukmana.
Rukmini merasa tentram di dalam pelukan Narayana atau Kresna, seorang Raja titisan Wisnu (karya Herjaka HS 2008)
Rukmini menjadi kebingungan dan bersedih hati. Ia menganggap jawaban Pendeta Drona tidak benar, maka ia menangis di hadapan ibunya. Ia tidak bersedia dikawinkan dengan pendeta tua itu. Rukmana datang menghantar Pendeta Drona, Rukmini lari ketakutan. Rukmana kembali menghadap raja. Pendeta Drona hendak memeluk permasuri raja yang dikiranya Rukmini. Permaisuri pun lari menyembunyikan diri.
Rukmini meninggalkan istana Keputren, masuk ke Taman. Di Taman ia melihat Narayana, lalu didekatinya untuk minta perlindungan. Rukmini bercerita bahwa dirinya tidak bersedia diperisteri Pendeta Drona, karena ia telah jatuh cinta kepada Narayana. Narayana menyambut dengan senang hati dan sanggup melindunginya.
Pendeta Drona tiba di Taman. Narayana menyongsongnya dalam wujud raksasa besar. Narayana tiwikrama, melangkah menyergap sang pendeta. Pendeta Drona lari ketakutan, menghadap raja Bismaka dan berkata bahwa raksasa besar masuk di Taman dan membawa lari Rukmini.
Raja Bismaka mendengar laporan peristiwa dalam istana, lalu meminta bantuan Yudhistira dan Duryodana. Warga Korawa dan Pandhawa berusaha melawan raksasa besar itu. Raksasa mengamuk, Patih Sengkuni lari bersama warga Korawa. Yudhistira didorong-dorong maju menyerang, tetapi hanya diam, berdiri memandang lawannya. Bima cepat-cepat menyambut raksasa, sehingga sang raksasa mundur sembunyi di Taman. Bima pun menyerang tapi raksasa menghilang. Bima merusak Taman, mencari raksasa. Pandhawa dan Korawa yang hadir di Kumbina tidak mampu melawan raksasa besar itu.
Raja Bismaka berunding dengan Yudhistira, mereka menyayangkan ketidak hadiran Harjuna. Nakula disuruh mencarinya lalu kembali ke Ngamarta. Arjuna sedang menghadap Kunthi, lalu diberitahu oleh Nakula hal-ikhwal yang terjadi di Kumbina. Arjuna diminta menolong keselamatan negara Kumbina. Arjuna dan Nakula pin berangkat bersama menuju Kumbina.
Raja Bismaka menyambut kedatangan Arjuna. Setelah diberitahu maksud panggilannya, Arjuna pergi ke taman, tempat raksasa bersembunyi. Terjadilah perkelahian antara Arjuna dan Raksasa. Raksasa menghilang, dan dikabarkan mati oleh Arjuna..
Raja Duryodana tahu bahwa raksasa itu sebenarnya Kresna, lalu menyuruh agar Korawa menggempur Randhukumbala di Dwarawati. Sumbadra dan Udawa sedang asyik membicarakan kepergian Narayana. Warga Korawa datang menyerang, tetapi diusir oleh Udawa. Kemudian Arjuna datang menemui mereka berdua. Arjuna minta agar Udawa mencari Narayana, sebab akan dikawinkan dengan Rukmini di Kumbina. Sepeninggal Udawa ke Kumbina, Arjuna bercerita kepada Sumbadra bahwa Narayana mati dibunuhnya, karena melakukan pencurian di Kumbina. Sumbadra marah, lalu Arjuna diserangnya. Arjuna menyerah lalu diikat dan dibawa ke Kumbina. Sumbadra hendak menuntut kematian Narayana. Arjuna dan Rukmini harus dihukum mati karena mereka penyebab kematian kakaknya
Udawa menemui Kakrasana, lalu diajak pergi ke Kumbina, menunggui perkawinan Narayana dan Rukmini. Mereka menuju ke Kumbina.
Sumbadra menghadap raja Bismaka, menyerahkan Arjuna. Ia menuntut hukuman mati bagi Arjuna dan Rukmini. Raja menerima tuntutan Sumbadra, lalu disuruh menghadap permaisuri raja, minta agar Rukmini diserahkan kepadanya. Permaisuri raja menjawab bahwa Rukmini bersembunyi di Taman. Sumbadra datang ke Taman membawa keris terhunus. Dilihatnya Rukmini sedang duduk bersedih hati di Taman. Sumbadra mendekatinya, minta agar Rukmini menyerahkan diri. Setelah mengerti kedatangan dan maksud Sumbadra, Rukmini menyerah dan minta segera dibunuh. Ketika keris hendak ditikamkan ke dada Rukmini, Narayana datang menahannya. Sumbadra tercengang, Narayana ternyata tidak mati. Narayana minta agar Sumbadra dan Rukmini meninggalkan Taman.
Raja Duryodana datang menemui raja Bismaka, minta agar Pendeta Drona segera dikawinkan dengan Rukmini. Permaisuri berkata bahwa Rukmini tinggal di Taman. Warga Korawa pergi ke Taman tetapi tidak menemukan Rukmini, karena Rukmini dibawa lari Narayana. Warga Korawa mengamuk, Bima diminta memadamkan amukan itu. Warga Korawa berhasil diusir pergi dari Kumbina. Arjuna disuruh mencari Rukmini. Setelah bertemu, maka Arjuna, Rukmini dan Sumbadra menghadap raja Bismaka. Raja telah dihadap oleh Kakrasana, Yudhistira, Bima, Nakula, Sadewa dan warga Kumbina. Rukmini ditanya oleh raja, sungguhkah ia jatuh cinta kepada Narayana. Permasuri bercerita, bahwa telah lama anak perempuannya menerima balasan cinta dari Narayana. Permaisuri menginginkan menantu jelmaan Wisnu.
Kakrasana atas nama orang tua dan saudara minta maaf atas kesalahan adiknya. Kemudian, minta kerelaan raja untuk memperisterikan Rukmini dangan Narayana.
Raja Bismaka berkenan, Rukmini dan Narayana disambut dengan pesta perkawinan di Kumbina. (Sumber: Serat Padhalangan Ringgit Purwa. Jilid 23:3-8) | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:35 pm | |
| Arjuna Lair 1
Dewi Kunti, permaisuri Pandu raja di Astinapura akan melahirkan putra yang ke tiga. Ketika itu di Suralaya terjadi huru-hara dan keributan (gara-gara). Dalam waktu yang sama Dewi Maerah permaisuri Prabu Basudewa juga akan melahirkan putranya.
Sementara Batara Wisnu menerima perintah dari Batara guru agar jiwanya merasuk ke dalam putra Prabu Pandu yang ketiga, sedangkan badannya agar masuk pada putra Dewi Maerah. Sementara Pandu, Abiyasa, Ambiki dan Ambahini berada di kamar bersalin menjaga Kunti, tiba-tiba rombongan Batara Narada dan bidadari datang, kemudian sinar terang merasuk ke dalam tubuh Kunti.
Seketika itu ia melahirkan putra yang memiliki paras yang luar biasa bagusnya melebihi sinar bulan dan Batara Endra datang serta mengangkat bayi bayi sebagai anaknya dan memberi nama Pamadi (Pamade), Arjuna alias Endratanaya. Setelah itu ia menghadiahkan panah Kyai Bramastra.
Negara Astina diserang musuh dari Srawantipura yang dipimpin raja raksasa Andrawalika. Atas perintah Abiyasa, Pamadi diminta menghadapi musuh yang dibantu Patih Gandamana dan akhirnya Ardawalika mati terbunuh dari tangan Arjuna. Dalam kematiannya ia mengancam kelak dalam perang Baratayuda akan membalas dendam. | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:35 pm | |
| Arjuna Lair 2
Syahdan Hyang Siwahbuja, menerima Hyang Narada dan mendengarkan laporannya, bahwasanya gara-gara terjadi, dikarenakan Dyah Maerah permaisuri raja Mandura dan Dyah Kuntinalibrata permaisuri prabu Pandudewanata dari kerajaan Astina, keduanya mereka mengandung dan sudah masanya bayi lahir, akan tetapi hal tersebut hanya menunggu sabda Hyang Siwahbuja.
Kepada Hyang Narada, Hyang Guru bersabda,"Wahai kakanda Hyang Narada, sampaikanlah pesanku kepada Hyang Wisnu dan Sri, bahwasanya kepada mereka saya perintahkan untuk menitis kepada Dyah Maerah dan Dyah Kuntinalibrata. Wisnu, seyogyanya kehalusannya nanti pada Pandawa, yaitu bayi yang akan terlahir berilah nama raden Arjuna, juga Pamadi, , kewadagannya nantinya pada bayi yang akan terlahir dari Dyah Maerah, berikan nama raden Narayana, juga Kesawa. Sri juga demikian, kehalusannya pada Dyah Wara Subadra, dan kewadagannya pada Dyah Jembawati berikan juga nama Dyah Nawangsasi.", mundurlah Hyang Narada, dan setelah kepada mereka dijelaskan perintah Hyang Padawinenang, keduanya dibawa oleh Hyang Narada, turun ke bumi, bukan lagi berujud dewa, akan tetapi dalam bentuk cahaya.
Prabu Basudewa, raja Mandura, mendapatkan wisik dewata, bahwasanya kelak Dewi Maerah permaisuri raja, akan melahirkan bayi "gundangkasih", satu nantinya berwujud putih dan satu hitam, pula dewa bersabda nantinya yang putih adalah penjelmaannya Hyang Basuki, adapun yang hitam Hyang Wisnu.
Adapun permaisuri yang muda, Dewi Badrahini, akan melahirkan seorang puteri, itu pula besok akan ada bidadari, Dewi Sri yang menjelmanya kepada sianak yang akan terlahir.
Terdengar berita, bahwasanya Dewi Kuntilanibrata, permaisuri raja Astina, Pandudewanata sudah masanya akan melahirkan bayi, akan hal itu sang prabu Basudewa berkehendak akan menghadirinya ke Astina. Di Astina Pandudewanata menungguhi Dewi Kuntinalibrata melahirkan bayinya. Hayu-hayu, bersabdalah Hyang Narada kepadanya dengan diiring para bidadari, dengan mengheningkan cipta, suatu cahaya berlalu sudah masuk ke kandungan Dyah Kunti, terlahirlah bayi dari kandunagn Dewi Kunti, dengan disaksikan pula bagawan Kresnadipayana, demikian pula Hyang Endra. Seorang bayi terlahir lelaki, oleh Hyang Endra bayi diangkat menjadi putera, diberinya nama Endratanaya, pula diberi senjata yang berupa panah bernama Bramasta. Hyang Endra dan Hyang Narada setelah selesai menunaikan tugasnya segera kembali ke kahyangan.
Pada kalanya prabu Pandudewanata menjamu prabu Basudewa, prabu Bismaka, dengan dihadap pula para Pandawa, seorang prajurit juga melaporkan kepada sang prbau, musuh dari negara Srawantipura, prabu Ardawalika dating, maksud akan membalas dendam kematian bapaknya dari Palasara.
Prabu Pandudewanata memerintahkan kepada segenap wadya supaya menanggulangi musuh yang datang, resi Abiyasa memerintahkan kepada Arya Widura, dan Arjuna supaya dibawa pula dalam medan peperangan melawan Ardawalika.
Prabu Ardawalika dapat dibunh Arjuna, dan mengancam,"Hai Arjuna, akan kubalas kematianku pada kalanya Baratayuda"’ sang Arjuna menjawabnya,"Besok ataupun sekarang, bagiku siap menanggulanginya."
Widura dan patih Arya Gandamana memunahkan musuh-musuh dari Srawantipura, bala yaksa mati terbunuh kesemuanya. Seluruh istana Astina, sangat bersenang hati, musuh telah sirna, mereka merayakannya dengan segenap anggota keluarga istana. | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:43 pm | |
| KRESNA TITISAN WISNU Ketika Arjuna menggembara di hutan bertemu dengan Kresna di gunung Raiwataka. Mereka menghadiri pesta yang diselenggarakan oleh golongan Yadu, seraya mendengarkan kemerduan suara gamelan. Dalam pesta itu Arjuna melihat Subhadra adik Baladewa. Arjuna terpesona melihat kecantikan Subhadra. Kresna tahu, bahwa Arjuna tertarik kepada Subhadra, lalu disuruh melarikannya. Setelah Arjuna berhasil melarikan Subhadra, Baladewa marah, merasa dihina oleh Arjuna. Kresna menahan kemarahan Baladewa. Dikatakannya bahwa Arjuna telah menebus emas kawin dengan kesaktiannya. Baladewa dan Kresna kalah sakti dan tidak akan menang melawan kesaktian Arjuna. Akhirnya Baladewa menyetujui perkawinan Arjuna dengan Subhadra. Perkawinan berlangsung di Dwarawati. Perkawinan mereka dianugerahi anak bernama Abhimanyu (Adiparwa: 202-205)
Kresna dan Arjuna membantu pembakaran hutan Khandawa. Setelah Kresna mengunjungi perkawinan Drupadi dengan Pandhawa, ia bersama Arjuna pergi berjalan-jalan menyusuri sungai Yamuna. Di tepi sungai itu mereka mengadakan pesta makan dan minum. Kemudian datanglah berahmana mengaku bernama Agni. Kresna dan Arjuna akan menjamu berahmana itu. Berahmana menolak untuk dijamu, ia minta bantuan Kresna dan Arjuna untuk membakar hutan Khandawa. Ia selalu gagal membakar hutan itu, karena dihalangi oleh dewa Indra yang bersekutu dengan naga Taksaka. Kresna dan Arjuna sanggup membantu, tetapi minta diberi senjata sakti. Berahmana memberi senjata yang mereka minta. Arjuna diberi panah Mahaksaya Mahesadi dan Sang Hyang Soma memberi tempat anak panah yang tidak pernah habis bila anak panah dilepaskannya. Ia diberi juga senjata Sanggacakra. Kresna diberi cakra Bajranabha, panah sakti bila dipanahkan anak panahnya kembali kepada pemanahnya. Sebuah gada Komodaki diberikan kepada Kresna untuk kelengkapan senjatanya. Mereka berdua telah siap, Sang Hyang Agni mulai membakar hutan Khandawa. Sang Hyang Indra berusaha memadamkan kobaran api. Sang Hyang Yama, Baruna, Waisrawana, Aswino, Dhata, Twasta, Angsa, Mrtya, Aryana, Mitra, Pusa, dan Bhaga membantu usaha Hyang Indra. Mereka beradu kesaktian senjata dengan Kresna dan Arjuna. Kemudian didengar suara yang mengatakan bahwa naga Taksaka sudah meninggalkan hutan Khandawa dan bertempat di Kuruksetra. Biarlah Kresna dan Arjuna menjaga Hutasana penjelmaan Narayana.
Sang Hyang Indra dan para dewa meninggalkan hutan Khandawa. Sang Hyang Agni dengan bebas membakar hutan seisinya. Maya anak Wiswakarma minta hidup kepada Kresna. Kresna pun memberi hidup kepada Maya karena ia tidak pernah membunuh orang yang minta hidup kepadanya. Arjuna menolong naga Aswasena. Empat ekor burung puyuh bebas dari kobaran api.
Dalam cerita Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Kresna berpihak kepada Pandawa. Sebelum perang terjadi Kresna diminta bantuannya oleh Pandawa untuk mengusulkan agar Suyodhana mau membagi dua kerajaan Hastina. Kresna pun menyanggupinya, lalu berangkat dari Wirata menuju ke Hastina, dihantar oleh Satyaki. Setiba di Kuruksetra kresna berrtemu dengan Parasurama, Kanwa, Janaka dan Narada. Mereka berempat akan membantu Kresna. Mendengar berita kedatangan Kresna di Hastina, Dhrestarastra menyuruh agar orang-orang menghias jalan dan menebarkan kain-kain indah. Bhisma berseru agar rakyat menyambut kedatangan Kresna dengan ramah tamah.
Anjuran itu disanggah Sakuni, Karna dan Suyodhana. Mereka menganggap Kresna berpihak kepada Pandawa. Kedatangan Kresna disambut dengan enam rasa makanan lezat dan bunyi tabuh-tabuhan yang amat merdu. Kresna tidak datang di tempat raja Suyodhana, tetapi menuju tempat Dhrestarastra. Di tempat itu Kresna bertemu dengna Drona, Bhisma, Krepa, Salya, Widura, Karna dan Dhrestarastra. Kresna dijamu bermacam-macam makanan lezat, emas dan manikam. Kemudian Suyodhana datang bersama pembawa makanan jamuan untuk Kresna. Kresna menolak jamuan Suyodhana sebab tujuan kedatangan dan perundingan belum tercapai. Suyodhana marah atas sikap Kresna yang menolak jamuannya. Kresna meninggalkan tempat pertemuan, diantar Widura menuju ke tempat tinggal Kunti. Kunti amat gembira menerima kedatangan Kresna sebagai wakil Pandawa. Widura sepaham dengan rencana Kresna. Suyodhana kecewa, lalu berunding dengan Dusasana, Sakuni dan Karna. Karna membakar hati warga Korawa supaya benci kepada Kresna yang berpihak kepada Pandawa.
Suyodhana minta agar Widura memanggil Yuyutsu, Krepa, Sakuni, Karna dan raja-raja sekutunya, kemudian minta kehadiran Kresna. Para dewa yang menjelma sebagai resi datang menghadiri perundingan. Kresna membuka perundingan dengan memandang Dhrestarastra. Ia berkata kepada Suyodhana, ia atas nama Pandawa minta separo kerajaan Hastina, Dhrestarastra setuju dan menerima permintaan Kresna. Suyodhana diam dan berpaling kepada Dusasana, Sakuni dan Karna. Mereka bertiga bergeleng kepala, pertanda tidak setuju. Ramaparasu, Kanwa, Narada dan Janaka berpihak kepada usul Kresna. Drona dan Bhisma menyetujui usul Kresna demi kebahagiaan bersama. Widura dan Sanjaya ikut menyetujuinya, demikian juga permmaisuri Dhrestarastra.
Suyodhana menolak usul Kresna, bahkan mengusir Kresna untuk meninggalkan tempat perundingan. Raja Hastina menyuruh Karna, Sakuni dan Dusasana untuk bersiap-siap menyerang Kresna. Mereka bertiga mempersiapkan prajurit Korawa. Dhrestarastra dan permaisuri berusaha membujuk Suyodhana, tetapi tidak termakan nasihatnya. Bahkan semakin berkobar kemarahannya.
Satyaki memberi tahu, bahwa prajurit Korawa telah siap menyerang Kresna, tetapi prajurit Yadu telah siap melawannya.
Kresna meninggalkan tempat perundingan, lalu berdiri di halaman, bertiwikrama membesarkan diri sebesar Kalamretyu, menundukkan bahwa ia jelmaan dewa Wisnu. Kresna yang dahsyat itu melangkah dan menyerang seperti singa. Bumi bergetar hebat, orang Korawa cemas ketakutan. Karna menjadi pucat, Suyodhana, Yuyutsu dan Wikarna jatuh pingsan. Drona, Bhisma dan Narada menghadap Kresna, minta agar berhenti marah dan minta kedamaian dunia. Bila Korawa hancur, tidak akan terpenuhi idam-idaman Bhima, Dropadi tidak akan bersanggul jika tidak jadi mandi darah warga Korawa. Redalah kemarahan Kresna, kembali ke wujud semula.
R.S Subalidinata | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:51 pm | |
| WAHYU CAKRANINGRAT Siapa yang tidak tergiur mendapatkan wahyu atau berkat khusus untuk bisa menjadi raja bagi seluruh umat manusia di bumi? Banyak orang mungkin akan berlomba-lomba mencari dan merebut berkat itu. Tetapi, sayangnya berkat atau wahyu tidak bisa diperoleh sembarangan. Hanya orang tertentu yang mampu mendapatkan wahyu itu. Biasanya, Tuhan memberi wahyu pada orang yang memiliki hati bersih dan berbudi luhur. Cobaan, godaan, dan tantangan hidup harus bisa dilalui oleh setiap orang yang ingin mendapatkan wahyu. Jadi, tidak mudah untuk mendapatkannya.
Perebutan mendapatkan wahyu disajikan dalam pementasan wayang orang berjudul Wahyu Cakraningrat di Gedung Kesenian Jakarta, pada Kamis (24/2) malam. Cerita ini mengisahkan upaya tiga pemuda yang berambisi menjadi raja atau pemimpin negara. Tetapi untuk bisa menjadi raja, tiga pemuda tersebut harus mendapatkan wahyu keraton atau wahyu kerajaan. Dalam cerita perwayangan ini, wahyu keraton atau wahyu kerajaan ada di negeri khayangan. Wahyu berwujud seorang pria bernama Batara Cakraningrat. Sang wahyu akan turun ke bumi mencari sosok pemuda atau "Kurungan Kencana" yang pantas dijadikan raja untuk negeri di masa datang.
Berbekal tekad bulat, Batara Cakraningrat ditemani Dewi Maninten turun ke bumi. Kedatangan mereka sudah ditunggu-tunggu oleh tiga pemuda yang berambisi menyandang gelar raja. Tiga pemuda itu, yakni Raden Lesmana Mandrakumara putra Prabu Duryudana dan Ratu Banowati, Raden Samba putra dari raja Dwarawati dan Sri Kresna, serta Raden Abimanyu putera Arjuna.
Karakter ketiga pemuda tersebut disajikan berbeda oleh sutradara D Supono. Seperti Raden Lesmana, yang memiliki karakter manja dan mudah tergoda dengan hal-hal duniawi. Ketika Lesmana bertapa di hutan Ganggowirayang, wahyu Cakraningrat masuk ke dalam dirinya. Sayangnya, Lesmana tidak bisa mengontrol diri ketika digoda putri cantik Pamilutsih yang merupakan jelmaan Dewi Maninten. Alhasil wahyu itu pergi meninggalkannya.
Tidak jauh berbeda dengan karakter Lesmana, Raden Samba juga tidak memiliki pengendalian diri yang kuat. Samba dikenal sebagai putera raja yang arogan. Seperti halnya Lesmana, Samba pun bertapa di hutan untuk mendapatkan wahyu. Ketika sang wahyu datang menghampirinya, Samba lengah mengontrol hawa nafsunya. Lagi-lagi kehadiran puteri Pamilutsih menggoda Samba, sampai akhirnya sang wahyu pergi.
Sampai di sini cerita sudah bisa ditebak. Dari tiga pemuda itu, hanya satu yang berhasil mendapatkan wahyu, yakni Raden Abimanyu. Ia berhasil mengontrol diri, bahkan tidak tergoda dengan godaan wanita cantik. Bahkan Abimanyu beberapa kali menolak tawaran Dewi Maninten untuk menikahinya. Ia konsisten mempertahankan wahyu yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, ia terpilih dan dinobatkan menjadi raja bagi alam semesta. | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:54 pm | |
| WAHYU MAKUTA RAMA Prabu Suyudana mengutus Adipati Karna, Patih Sengkuni dan para Kurawa pergi ke Gunung Kutarunggu atau Pertapaan Swelagiri, karena dewa memberikan penjelasan bahwa barang siapa memiliki makuta Sri Batararama akan menjadi sakti, serta akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Dalam perjalanannya Adipati Karna pergi ke Pertapaan Duryapura Dimana Anoman, saudaranya Kesaswasidi bertempat di situ yang ditemani raksasa Gajah. Wreksa, Garuda Mahambira, Naga Kuwara dan Liman Situbanda. Karma mengutarakan maksudnya tetapi di tolak Anoman sehingga terjadi peperangan. Karena terdesak Karna melepaskan panah Wijayadanu tetapi dapat ditangkap Anoman dan dibawa ke Swelagiri.
Pihak Pandawa sang Arjuna juga mencari Makutarama, ia dating di Gunung Swelagiri bertemu dengan Kesaswidi menerangkan maksudnya dan oleh sang Begawan dijelaskan bahwa Makutarama itu sebenarnya bukan barang kebendaan, tetapi merupakan pengetahuan budi pekerti bagi raja yang sempurna atau ajaran yang disebut Astabrata. Lebih jauh Begawan Kesaswidi menjelaskan bahwa kelak cucunya yang bernama Parikesit akan berkuasa sebagai raja besar di Jawa dan ia akan menjelma kepadanya. Sedangkan Anoman diperintah untuk meneruskan bertapa di Kendalisada dan kelak pada pemerintahan Prabu Jaya Purusa dari kediri ia akan naik surga.
Arjuna kembali dengan membawa panah Wijayadanu untuk diserahkan Adipati Karna. Dewi Subadra yang sangat khawatir kepergian suaminya lalu mengembara mencari Arjuna, dan diperjalanan bertemu Batara Narada yang memberikan busana pria, maka Dewi Subadra berubah ujud pria bernama Bambang Sintawaka kemudian ia pergi ke pesanggrahan Kurawa dan sanggup membantu melawan Ajuna.
Bima dan Gatotkaca juga mencari Ajuna di perjalanan mereka dihadang Kumbakarna. Menurut nasihat Wibisana Kumbakarna harus menjelma pada Bima maka terjadi perkelahian yang seharusnya Kumbakarna merasuk pada paha kiri Bima.
Kurawa yang dibantu Sintawaka menentang Arjuna dan peperangan terjadi. Arjuna dapat mengenali musuhnya itu adalah istrinya dan akhirnya kembali ke ujud semula, Dewi Subadra. Para Kurawa menyerang tetapi dapat dihalau Gatotkaca. | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 2:59 pm | |
| KARNO TANDING PART 1 Baratayudha harus tetap dilanjutkan, apapun pengorbanannya…!
Perang dunia ke empat, Baratayuda Jaya Binangun sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa, menjadi kodrat yang harus dijalani dunia. Perang besar ini telah telah memasuki beberapa hari. Ladang perang Kurusetra telah menjadi ladang pembantaian kedua belah pihak. Meskipun baru beberapa hari perang berlangsung, korban tewas tak terhitung. Ladang Kurusetra merah membara, bau amis darah menusuk hidung. Bangkai para prajurit dan hewan perang berserakan, bertumpukan seperti kocar – kacirnya ladang rumput ilalang yang ditebas dibabat sabit tukang kebun. Sisa – sisa patahan senjata bercampur baur dengan bangkai kereta perang. Kedua belah pihak sudah banyak kehilangan Senopati, sanak saudara, orang – orang tercinta, keluarga dekat dan darah daging mereka. Utara, Seta, Wrahatsangka, Abimanyu, Gatotkaca, para pemuda dan agul – agul kerajaan Wiratha dan Amarta itu, hidupnya terengut di masa muda di Ladang Kurusetra. Mereka meninggalkan istri – istri tercinta, anak – anak yang masih hijau. Resi Bisma, Lesmana Mandrakumara, telah menjadi korban kebijaksanan Raja dan Pemerinthan Hastina pura dalam rangka hangrukebi Kerajan Hastina dan Amartapura yang telah dikuasi selama 13 tahun karen sukan dadu.
Perang, di manapun dan apapun alasannya hanya akan menyisahkan kepedihan, penderitaan, bau bangkai, dan keterpurukan bagi kedua belah pihak. Jelas yang sudah menjadi bangkai, kepedihan dan kehampaan akan dirasakan oleh sanak saudara dan keluarga dekat. Yang luka arang kranjang, membawa pedih dan perih dalam arti yang sebenarnya. Yang cacat seumur hidup membawa derita jikalau tak mampu menerima.
Di perkemahana Kuru Mandala, disebut juga Bulupitu. Adalah perkemahan para pembesar dan punggawa Kerajaan Astinapura. Terletak di tapal batas kerajaan dengan ladang peperangan Kuru Setra. Meskipun sifatnya hanya perkemahan sementara, namun kemegahan dan kemewahannya setara dengan istana kerajaan. Gapura besar menjulang di depannya, kiri kanan gapura diapit kandang kelangenan sang Raja. Kiri kandang singa, kanan kandang macan. Hari itu menjelang sore, di padang Kurusetra pertempuran masih menggelora. Sesuai denga kesepakatan dan peraturan perang, perang hari itu akan dihentikan seketika setelah matahari terbenam. Kedua belah pihak akan menghentikan segala serbuan dan kelebat senjata, untuk sekedar beristirahat dan mengatur strategi perang esok hari.
Di dalam perkemahan, Prabu Suyodono duduk di kursi keprabon yang empuk, bersila methengkrang dengan tangan bersilang. Belum ada ucap yang keluar dari mulutnya saat itu. Namun rona wajah dan bahasa tubuhnya jelas menyiratkan kekecewaan, kemarahan, dan juga kesedihan yang mendalam. Sang mertua, Prabu Salya dari Kerajaan Mandaraka masih setia mendampingi. Juga Arya Patih Sengkuni. Seolah membaca apa yang sedang dirasakan oleh sang menantu, Prabu Salya memulai percakapan untuk memecah kesunyian sore itu.
”Anak Prabu,….saya sudah menunggu cukup lama untuk andika memulai pembicaraan kali ini. Tetapi sampai nggantung untu, saya menunggu pembicaraan itu dan rasanya tiada tanda – tanda dhawuh ananda itu. Saya merasa tidak dianggap dalam perhelatan ini. Padahal, keberadaan saya di sini bukan kemauan saya pribadi. Beberapa bulan yang lalu, secara tiba – tiba datang salah satu punggawa kerajaan – kelihatannya, sebab dari tindak tanduk dan cara bicaranya saya tahu- pasti ini adalah utusan Raja agung yang mengerti sopan santun. Singkat kata, utusan itu mengaturkan sepucuk surat untuk saya. Saking terkesimanya saya kepada sikap dan tindak tanduk panggawa ini, tidak saya perhatikan surat itu dengan terwaca serta teliti. Saya hanya membaca intinya, bahwa saya diundang ke perjamuan agung di tapal batas Hastina Pura. Saya ini sudah tua, tetapi kok ya masih saja bersikap terburu – buru, tanpa meneliti lebih jauh saya datang ke undangan itu dengan kerata kerajaan yang saya kusiri sendiri. Sampai di perjamuan agung, memang saya benar – benar dijamu. Setelah kenyang saya makan, setelah terasa seger saya minum, dan setelah saya puas menikmati aneka hiburan, baru saya menyadari bahwa itu semua adalah hajat andika anak prabu. Pada waktu itu, anak prabu meminta saya untuk melindungi dan mendukung kurawa saat perang besar Baratayudha Jayabinangun, yang artinya……yang artinya saya harus rela bermusuhan dengan anak – anak ku Pandawa. Padahal…padahal…, dosa dan kesalahan pandawa kepada saya apa sehingga Kerajaan Mandaraka perlu bermusuhan dengan mereka?? Namun..namun begitu….kok ya saya waktu itu menyanggupi apa yang menjadi permintaan andika prabu. Itu setelah saya kenyang dengan makan dan minum serta hidangan – hidangan lain yang andika suguhkan.. ”
Merasa diungkit – ungkit masa lalu dan ”kelicikan”nya saat membujuk sang mertua untuk berpihak kepadanya terkuak, Prabu Duryudona menyela…
”Jadi, apakah Rama Prabu menyesal dengan semua itu. Apakah Rama Prabu akan menarik kesanggupan yang telah Rama ikrarkan di depan kadang saudara Kurawa, Senopati serta Raja – raja sekutunya ???”
”We lah…., anak Prabu..bukan..bukan begitu, Saya tidak menyesal…ya saya tidak menyesal. Hanya saja…..,lumrahnya orang berkumpul dan berkumpulnya itu ada tujuannya, ya seharusnya ada saling bicara di antara mereka. Lah…pertemuan kali ini kok seperti orang saling satru satu sama lain, tiada pembicaraan apapun”
”Rama Prabu, saya masih menyesali meninggalnya Eyang Resi Bisma beberapa hari yang lalu. Mengapa Dewata begitu tega dengan gugurnya Eyang Resi Bisma?? Padahal belum sepenuhnya kami para cucu Kurawa sempat memberikan kebahagian dan kamukten kepada Beliau. Hm….”
”Anak Prabu,…..Tidak ada yang perlu disesali atas kejadian sampai dengan saat ini. Memang perang ini telah banyak memakan korban termasuk Resi Bisma dari sisi Hastina, Pandawa pun juga telah banyak kehilangan Senopati dan Kerabat. Utara, Seto, Wrahatsangka, telah gugur…”
”Iya, di pihak Kurawa lebih pedih lagi, ananda Lesmana Mandrakumara yang saya gadhang-gadhang jadi penerus dan penyambung keturunan trah Kuru, telah tewas…”
”Memang, memang…Ramanda tahu itu, tetapi pandawa juga kehilangan Abimanyu dan Gatotkaca. Mereka berguguran di Kurusetra karena tidak kuasa menandingi kesaktian para Senopati Kurawa.”
”Nggih, tetapi mengapa Pandawa begitu tega sampai menghabisi nyawa Eyang Resi Bisma ? Pandawa memang benar – benar murang tata, tidak mengerti tata krama dan adab sopan santun. Eyang Resi Bisma itu siapa? Seharusnya Pandawa bisa mengerti…”
”Sebentar – sebentar, anak Prabu. Ini dalam perang lo…., dalam perang tidak ada sanak sodara, tidak ada anak orang tua, tidak ada benar salah, yang ada ya kalau bukan teman ya lawan. Kalau tidak membunuh ya dibunuh. Cukup itu saja. Karena…karena…ananda sudah memilih dan menetapkan perang sebagai jalan keluar permasalahan Pandawa – Kurawa. Namun…namun ngger, sebenarnya tidak ada kata terlambat. Angger prabu masih bisa menyelamatkan keadaan dan menghindari lebih banyak korban serta penderitaan. Jikalau angger menginginkan, Pandawa bisa Rama panggil untuk menghadap Anak Prabu dan menyelesaikan semua permasalahan sampai di sini saja. Saya berani menanggung dan saya sendiri yang akan mengiringi Pandawa agar bersesedia menghadap Angger Anak Prabu. Asal….asal, Amarta anak prabu kembalikan kepada Pandawa dan hak Pandawa Hastina pura anak Prabu berikan meskipun hanya separo saja dari Hastina tanpa isinya. Saya berani menanggung dan menaruh dadaku di depan Puntadewa sebagai jaminan bahwa Pandawa tidak akan mengutik – utik kamukten dan kewibawaan Angger Prabu selama ini”.
”Rama Prabu…”
”Ya, bagaimana Ngger…”
”Rama Prabu saya mohon mendampingi saya di sini bukan untuk memanggil Pandawa menghadap di depanku…”
”Ooo begitu ??”
”Nggih..Lagi pula ibaratnya menyeberangi sungai, perang ini sudah sampai di tengah – tengah. Kalau kembali kami sudah terlanjur basah, berlanjutpun kami akan tetap basah. Maka bagi kami, tidak ada kata batal untuk perang Baratayuda ini. Yang kedua…”
”Apa yang kedua ngger ??”
”Jika saya menghentikan perang ini, saya malu dengan suwargi Eyang Resi Bisma yang telah mengorbankan nyawanya untuk membela Kurawa. Betapa saya tidak tahu diri dengan penderitaan dan pengorbanan Eyang Resi Bisma, padahal saya belum sempat memberikan kebahagian dan kemukten kepada Beliau. Oleh karena itu, dengan pengorbanan apapun, perang ini harus tetap berlanjut sampai Pandawa tumpas habis..”
”Oo..begitu ??”
”Nggih Rama…”
”Hmm…masih boleh saya matur lagi…?”
”Silakan Rama Prabu..”
”Anak Prabu… jangan dikira…jangan dikira jikalau meninggalnya Eyang Resi Bisma itu penderitaan untuk beliau. Kita tidak tahu, bisa jadi itu merupakan pencapain kesempurnaan hidupnya. Sebab jikalau saya dengar dari cerita banyak orang dan sudah menjadi cerita umum dunia, Resi Bisma itu sakti bukan kepalang. Di masa muda dia pernah berguru kepada Resi Bagaswara. Resi Bagaswara pada jamannya merupakan Guru tanpa tanding di jagad ini. Namun begitu…, namun begitu setelah selesai berguru, Resi Bisma muda menantang gurunya. Ya..gurunya ditantang. Singkat cerita, tantangan sang murid itu diterima, dan Resi Bargawa terdesak. Sampailah dikeluarkan senjata pamungkas Resi Bargawa berupa panah Bargawasta dilepaskan ke leher Resi Bisma. Bukan Resi Bisma yang luka, tetapi panahnya yang hangus terbakar. Namun….pada perang beberapa hari yang lalu, Resi Bisma menemui ajalnya hanya oleh Seorang Senopati Putri, Putri Kerajaan Pancala si Woro Srikandi….”
Belum sampai diskusi antar mereka mereda…di luar Kartomarmo mandi peluh berlari dari medan perang menuju padepokan. Sambil gero – gero menangis seperti anak kecil, lari Kartomarmo ibarat peluru lepas dari senapan. Terkejut Prabu Duryudono mendapati Kartomarmo seperti itu.
“Kartomarmo….! Tingkahmu seperti anak kecil, gero – gero mandi peluh. Apa yang terjadi di luar….???”..
“Aduh sinuwun…mohon ijin untuk matur”.
“Silakan matur, aku dengarkan…” | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 3:03 pm | |
| KARNO TANDING PART 2 Berita tewasnya Pandita Druno karena termakan isu tewas di medan laga
Kartomarmo mulai menyampaikan kabar yang dibawanya…
“Sinuwun mohon maaf, hari ini seperti yang Paman Sangkuni perintahkan hamba mendampingi Sang Senopati Agung Bapa Begawan Druna maju ke medan laga Baratayudha….”.
Dengan gaya dan cengkok suara yang khas, Sengkuni menyela
“Iya, kowe paman kasih pekerjaan enteng Kartomarmo, mendampingi Senopati Agung yang jelas tidak terkalahkan…”
“Inggih Paman…”
“Kartomarmo, teruskan ceritamu adikku”, perintah Prabu Duryudono
“Terlaksana Bapa Druna maju sebagai senopati perang Astina. Pandawa menggunakan konfigurasi pasukan berupa bulan sabit, Permadi di sisi kiri, Bratasena di sisi kanan. Keduanya sebagai ujung konfigurasi bulan sabit itu. Bapa Druna menggunakan konfigurasi Bangau Terbang, dengan pucuk perang Bapa Druna sendiri. Terbukti gunjingan dunia bahwa Bapa Druna tanpa tanding. Tanpa waktu lama barusan pasukan bulan sabit pandawa diterjang, diterabas seolah tanpa perlawan. Konfigurasi pasukan wulan tinanggal itu kocar – kacir, morat marit terkena badai panah dan lautan api dari Sang Pandita Sukalima itu”.
Sangkuni “He..he…he…, ya sudah paman perkirakan kok ngger. Kalau Bapa Druna bertindak lama mijit buah ranti, dalam sekejap Pandawa akan takluk..terus lanjutannya gimana le ??”
”Melihat pasukannya kocar – kacir, hamba lihat Arjuna bertindak. Busur panah disiapkan, panah andalannya kiai Pasopati dihunus, dipasangkan di busur panah siap dilepaskan ke arah Bapa Druna. Tiba – tiba gemetar tangan Arjuna, keringat dinginnya keluar, otot dan tulangnya seperti di-lelesi. Tanpa daya, Arjuna lemas ambruk dan semaput…”
Duryudonoa ”Ha..ha…wah harusnya aku ada di sana. Aku akan bertepuk tangan dan kalau perlu sekalian tepuk kaki untuk menyemangati Bapa Druna dan mempermalukan Arjuna. Terusannya gimana Kartomarmo ? Pandawa menyerah tentunya…”.
”Belum kakang prabu. Melihat adiknya pingsan, Wrekudara siap tumandang. Diayunkannya Gada Rujakpolo ke kiri dan ke kanan. Beberpa prajurit Astina yang dekat dengan Wrekudara terlempar dan terluka. Bapa Druna memang memiliki daya magis yang luar biasa, belum sampai jarak selemparan tombak Wrekudara mengarah ke Bapa Druna, seolah dipakukan di bumi, kaki Wrekudara tidak bisa digerakkan. Wrekudara termangu seperti patung, balik kanan ketika dipanggil oleh Prabu Kresna..”.
Sengkuni ”He..he…ya pasti begitu, Druna itu gurunya, jadi Wrekudara tidak akan berani melawan. Sudah saya duga kok ngger..terus Puntadewa nongol juga?? Atau menyerah pastinya ”
”Belum paman. Nggih..puntadewa mencoba maju perang…”
”Alah anak itu nggak pernah perang kok, ya pasti kalahnya sama Pandita Druna”
”Iya dicegah oleh Prabu Kresna, Puntadewa tidak jadi maju. Pandita Druna terus menerus mengamuk mengeluarkan kesaktiannya. Ratusan prajurit pandawa tewas. Tetapi tiba – tiba Wrekudara kembali ke arena lagi berteriak ’Swatama mati – swatama mati’”
Sengkuni”Loh, padahal Aswatama khan gak ikut perang dan belum mati ?”
”Iya paman Sangkuni”
”We lah, teriakan tipuan itu. Apus krama namanya…”
”Inggih Paman…teriakannya begitu nyaring dan disambut gemuruh oleh seluruh pasukan Pandawa…Teriakan ini terdengar oleh Paman Druna. Mendengar isu yang beredar di arena pertempuran ini, Bapa Druna seperti kehilangan tenaga, linglung, bingung kehilangan daya sangga tubuhnya. Beliau menangis gero – gero seperti anak kecil. Begawan Druna menyingkir dari arena perang, sembunyi di balik bukit. Badannya lemas ditumpukan pada lututnya yang bersandar di tanah merah. Tanpa diketahuinya, ada satria bertindak curang. Drestajumena menebas leher Pandita Druna dari belakang. Putus leher Pandita Druna, kepalanya menggelinding, ditendang – tendang oleh pasukan Pandawa, Kakang Prabu…hu..hu…..tidak tega saya melihatnya….oh ho…ho…”
Sampai di sini cerita Kartomarmo, tangis yang tadi ditahannya tidak bisa dia bendung. Rebah badannya seketika…
Demikian juga semua yang hadir diterpa kesedihan, kekecewaan, penyesalan dan rasa amarah tidak tahu kepada siapa. Tidak terlukiskan bagaimana perasaan kesedihan, kekecewaan dan kepedihan Prabu Suyodono mendengar kabar ini.
”Aduhh……Gustiii…gusti…, betapa tidak adilnya Engkau….Mengapa selalu kami yang tertima nestapa, mengapa hanya Pandawa yang engkau kasihi…..” | |
| | | zelda KorLap
Lokasi : Pamulang Reputation : 0 Join date : 02.05.09
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 Wed Jan 06, 2010 3:04 pm | |
| KARNO TANDING PART 3 Ketidakmampuan mengendalikan diri dan emosi mengantarkan Dursasana kepada kematiannya yang tragis…..
Musim kemarau nan kering mengiringi pertempuran menuju puncak. Angin kering kencang menerjang, menyampaikan kabar buruk, bau amis darah dan busuk bangkai ke segala penjuru mata angin. Arah angin kering tidak dapat terduga ke mana akan menuju, seolah mengikuti apa yang akan terjadi dalam peperangan hari ini. Meskipun sebagian pandita, satria suci dan orang – orang yang bening hatinya mengetahui ke mana ujung perang ini akan berakhir, becik ketitik ala ketara. Daun mahoni, daun jati, daun asam mengering, berjatuhan, berguguran helai demi helai. Seperti itu tulah para yang berperang berguguran. Rumpun bambu berderit – derit mendendangkan jeritan dan perihnya hati mereka yang ditinggal gugur sanak – famili, menyanyikan rintihan sakit mereka yang terluka.
Udara yang kering naik turun menyapu dedaunan kering, membawa debu halus beterbangan tak tentu arah. Begitulah suasana hati orang – orang yang bingung menghadapi peperangan. Banyak di antara mereka tidak memahami apa yang diperebutkan dalam perang ini. Banyak di antara mereka tidak mengerti mengapa perang ini harus terjadi. Mengapa Kurupati begitu kukuh mempertahankan tanah Astina dan Kerajaan Amarta. Sebagian memahami bahwa memang inilah sifat serakah dan angakara murka Duryudono. Sebagian lain memahami memang sudah hak para Kurawa untuk menguasai Astina karena sebelumnya seharusnya Drestarata, ayah kandung Kurawa, yang menjadi raja. Namun karena penglihatan Drestarata tidak berfungsi, adiknya lah yang memerintah, Pandudewanata ayah para Pandawa.
Di antara mereka tidak sedikit pula yang anut grubyuk terserah arah angin kemana dia akan mengikuti. Kurang lebih begitulah yang dipikirkan Dursasana. Baginya perang ini tidak memperebutkan apa – apa, hanya karena kakaknya ingin perang, diapun mendukung perang. Dursasana, tipikal manusia yang malas berfikir. Hanya mengikuti apa yang terjadi di sekelilingnya. Ketika angin bertiup ke barat, dia akan condong ke barat, begitu pula sebaliknya. Dursasana hanya menelan mentah – mentah apa yang terlihat secara fisik, tanpa mencerna dan memikirkan bagaimana dan apa di balik apa yang ditangkap dengan panca inderanya.
Saat itu, sudah terasa lama Prabu Duryudana meninggalkan istana Hastina Pura, keputrian dan istrinya Raden Ayu Banowati. Perasaan kangen kepada belahan jiwanya sudah terasa memuncak. Seperti ingin melompat dari Perkemahan Bulupitu agar segera sampai saat itu juga di keputrian demi memuaskan rasa rindunya kepada sang raden ayu Banowati, istri tercinta jantung hatinya. Namun perang tidak dapat ditinggalkan barang sesaat. Maka untuk sekedar melihat kabar dan menjaga keselamatan dan suasana keputrian, Duryudana mengutus adinda Dursasana untuk melihat dan menjaga keputrian. Dursasana menuju keputrian dan menemui kakak iparnya, Raden Banowati.
Setelah berbasa – basi, Banowati menyapa adik iparnya.
”Dursasana.., apa yang kamu lakukan di keputrian ??”
”Kakang Mbok, ayu…he..he.. Saya ini diperintah oleh Kakang Mas Duryudono..ho…ho..ho, agar menjaga keputrian menjaga Kakang Mbok Ayu..”
”We..la, buat apa aku dan keputrian dijaga olehmu? Apa kamu takut perang?? Padahal sanak kadang Kurawa yang lain berpeluh dan bermandi darah di medan perang.Kok kamu enak – enakan di keputrian. Apa kamu takut darah, menghindari luka adikku ?? Ternyata hanya badan mu saja yang sentosa, tetapi kamu tidak bernyali”
”Walah la dalah….malah mengumpat – umpat. Sudah dari dulu saya mencurigai dan tahu bahwa Kakang Mbok tidak sepenuhnya mencintai Kakangku Duryudono, kamu hanya pamrih kepada harta dan kedudukan Kangmasku. Sebenarnya hati dan cintamu untuk Arjuna. Iya bukan??!! Bibirmu hanya lamis kalau bilang sayang kepada Kangmasku, sebenarnya kamu bohong. Wah..aku merasa kasian dengan kakangmasku, sekian puluh tahun dibohongi oleh sampeyan yang sebenarnya dipuja dan dimanja tiada tara….Tapi imbalannya hanya lamis, hanya kebohongan, hanya selingkuhan dengan Arjuna. Kalau seandainya aku diijinkan oleh Kakang Duryudono, sudah dari dulu aku bunuh Janaka”
Konan kabarnya, apa yang dikatakan Duryudono itu ada benarnya. Dari dulu, semenjak semasa gadisnya di Kerajaan Mandaraka dulu Banowati menaruh hati kepada Arjuna, lelakinya jagad raya. Seorang satria yang terkenal kesaktiannya jika berhadapan dengan sesama pria, tetapi terkenal dengan ketampanan dan rayuan mautnya jika menghadapi wanita. Tidak heran belasan wanita, mulai dari anak pandita, resi, petani, putri raja sampai dewi kayangan pun dipersunting Arjuna. Dan isu yang beredar, Arjuna pun menanggapi perasaan Banowati. Meskipun sudah menjadi istri Raja Hastina, Arjuna sesekali menemui Banowati secara sembunyi – sembunyi. Konon pula, sebenarnya Duryudono tahu hal ini, namun dia pura – pura tidak tahu. Entah apa yang ada di hati dan pikirannya, hanya Duryudono dan Sang Pengusaa Jagad Raya yang tahu.
Merasa dipermalukan di depan danyang – danyang keputrian, memuncak kemarahan Banowati.
”Dursasana, kamu gila. Untuk menutupi kekuranganmu yang takut darah kamu mengarang cerita ngaya wara, mengada – ada. Kamu bawa – bawa nama Arjuna. Apa kamu berani aku adu sama Arjuna ???”
”Oalah..Banowati – Banowati, jangankan satu Arjuna. Sepuluh Arjuna tidak membuatku gentar…”
”Dursasana, sesumbarmu seperti bisa mematahkan besi baja, seperti berani menjilat besi merah membara yang habis dibakar. Tidak sudi aku papan catur (meladeni obrolan) denganmu…Lebih baik aku pergi dari sini”
Banowati meninggal keputrian dengan hati penuh amarah dan rasa malu.
”We lah…aku buka rahasianya, Banowati marah - marah. Sekalian saja aku buka byak apa yang selama ini dia lakukan. Terserah apa jadinya nanti. Tetai aku tidak terima diremehkan, dikira aku tidak berani meladeni perang melawan Pandawa. Hoe…..!!!Pandawa…!!! aku yang datang menjadi senopati. Mana senopatimu, kerahkan semuanya. Hadapi Dursasana….”
Terbakar emosi dan kemarahan Dursasana. Tanpa ada perintah dari panglima tertinggi Kurawa Dursasanan maju perang. Sudah tidak terpikirkan lagi siapa yang akan dihadapi, tanpa mempedulikan strategi dan taktik apa yang akan diterapkan menghadapi para kesatria pandawa, yang ada di kepalanya hanyalah perang, perang dan perang. Tidak perlu lagi mengaca diri apa yang dipunyai dan apa yang akan dihadapi, yang dia inginkan hanyalah menunjukkan kepada Banowati bahwa Dursasana adalah agul – agul, dan jago Kurawa yang patut diperhitungkan. Tidak boleh ada satu jalmapun meremehkan keberaniannya. Gelap mata dan emosi telah menguasai seluruh pikiran dan nafsunya.
Sangkuni dan para Kurawa yang lain : Kartomarmo, Citraksa, Citraksi, tak kuasa mencegah kehendak Sang Dursasana. Dihalang – halangi, melompat diganduli berontak.
Di perkemahan Pandawa, perbatasan Wiratha – Hastina yang masih dalam kekuasaan Kerajaan Wiratha. Setyaki pemimpin penjaga perkemahan melaporkan situasi di arena pertempuran kepada sang pengatur strategi Pandawa, Prabu Kresna penguasa Dwarawati.
”Nyusun sewu sinuwun, Setyaki mohon matur kekisruhan di Kurupati karena Kurawa telah mengirim Senopati baru hari ini”
”Siapa Setyaki, senopati itu ?”
”Kakang Dursasana sinuwun”
”Wrekudara, bagianmu adikku”
”Mohon doa restu Kakang, aku hadapi Dursasana…”
Terlaksanana Wrekudara berhadapan satu lawan satu dengan Dursasana.
”Wrekudara, hayo hadepi aku Dursasana. Kalau di Pandawa, Wrekudaranya kamu maka Kurawa, akulah Bratasenanya. Hayooo…gunung lawan gunung, penguasa gada lawan penguasa gada. Kerahkan semua kesaktianmu, keluarkan segala kekuatanmu, mustahil kamu bisa mengalahkan aku…”
”Wa….Dursasana, sesumbarmu seolah mampu mencengkeram Gunung Himalaya. Padahal aku tahu sejatinya nyalimu tiada..Hayo silakan kamu mulai, hantamlah Wrekudara..pilihlah bagian tubuhku mana yang empuk menurutmu. Kamu lihat…mendung menggantung gelap menggulung itu ?? Itu tandanya jagad seisinya siap mengantarkan kematianmu yang nista menuju neraka jahanam!!!”
Dursasana, bahkan sepuluh Dursasana pun bukanlah lawan yang setimpal bagi Wrekudara. Wrekudara adalah kesatria pilihan dewa. Putra Bethara Bayu yang mempunyai kesaktian berupa Kuku Pancanaka pemberian sang ayah dan Gada Rujak Polo yang diperebutkan dari Gandamana. Semenjak lahir Wrekudara telah melakoni laku prihatin menggembleng diri. Belum sepekan kelahirannya telah dibuang ke hutan karena tiada senjata dunia yang mampu membelah bungkus bayi Wrekudara. Hanya senjata Kahyangan berupa gading gajah seno yang mampu membelah bungkusnya ketika itu. Kekuatan gajah seno melebur menyatu kepada bayi Wrekudara menjadikan kekuatannya lebih dari sepuluh kali kekuatan manusia biasa. Dengan empat saudara yang lain dia pernah membabat hutan wanamarta yang terkenal gung liwang liwung, wingit tak terjamah manusia. Wrekudara, bukan hanya berlaku satria. Olah batinnya juga nyaris sempurna karena dia pernah ”minandita” saat lakon Bima Suci. Bethara Indra, Bethara Brama, Pandita Druna, Resi Hanoman, Prabu Kresna, selain bapaknya sendiri Dewa Bayu pernah menjadi guru Wrekudra dalam olah kesaktian kanuragan fisik maupun kejiwaan. Di sisi lain, tidak ada cerita yang menonjol dari Dursasana kecuali senang – senang dan hidup enak di Kerajaan Hastina warisan gratis dari orang tuanya yang sebenarnya wali pemangku kerajaan.
Tanpa perlu berpeluh keringat, Wrekudara meringkus Dursasana tanpa perlawanan berarti. Saat Dursasana sudah dipithingnya, teringat peristiwa dua belas tahun yang lalu saat Pandawa kalah dalam adu permainan dadu. Kala itu pandawa telah memberikan segala yang dimiliki akibat kalah bertaruh dengan Kurawa yang dibantu Patih Haryo Suman. Ketika Pandawa tidak memiliki apa – apa lagi, maka istri mereka Drupadi pun dipertaruhkan. Kembali Pandawa kalah. Saat itu Drupadi menjadi milik Kurawa. Drupadi diperlakukan lebih nista daripada seorang budak. Dihadapan para punggawa kerajaan, para pinisepuh, para kesatria pandawa dan kurawa, para emban, para danyang dan para punggawa Hastina, Dursasana melucuti gelung rambut Drupadi sehingga rambutnya jatuh terurai, yang pada jamannya dianggap sudah merupakan aib bagi seorang wanita. Tidak cukup hanya itu, Dursasana melucuti kebaya Drupadi, kemben Drupati, tinggallah kain jarit penutup dada sampai ujung kakinya. Tanpa mempedulikan nasihat pinisepuh yang hadir waktu itu – Druna, Pandita Bisma, Prabu Karno, dll - ujung kain jarit penutup tubuh Drupadi telah dipegang Dursasana, ditariknya sekuat tenaga. Drupadi menjerit, merintih menahan malu dan amarah yang sangat. Permohonan welas asihnya tidak dihirauakan Dursasana. Sebaliknya yang didapat ledekan, lecehan dan umpatan. Para Pandawa tidak mampu berbuat apapun kala itu, kecuali menyaksikan dengan perasaan malu, marah, kecewa dan sedih yang mendalam. Karena Drupadi kala itu bukan milik mereka lagi. Hanya karena pertolongan dan kehendak Yang Kuasa, kain jarit itu seolah tiada ujung. Bertumpuk – tumpuk bagian jarit yang sudah diarik Dursasana, beserakan, berjuluran di lantai pendapa istana. Tetap saja masih ada bagian jarit yang menutup rapat tubuh Drupadi meskipun lekuk dan kelok bentuk tubuhnya terlihat jelas. Dursasana lemas karena terlalu letih menarik dan menarik.
Saat itu Wrekudara berteriak menahan amarah, jika sampai pada waktunya terlaksana perang Baratayuda, dia sendiri yang akan menghadapi Dursasana dan akan menyempal – sempal lengan Dursasana yang sudah berlaku lalim, mempermalukan Drupadi dan Pandawa. Setelah Dursasana lemas, terlalu letih, Drupadipun mempunyai nadzar akan selalu membiarkan rambutnya terurai dan tidak akan mandi keramas sebelum menggunakan darah Dursasana untuk menyiram rambutnya yang terurai.
Maka saat ini, saat perang baratayuda telah terlaksana Wrekudara menghadapi Dursasana. Dursasanapun telah sepenuhnya dalam penguasaanya, ditembuskannya kuku pancanaka ke perut dan ulu hati Dursasana. Terkejang – kejang Dursasana menghadapi sakaratul maut. Terlihat perih, pedihnya Dursasana menghadapi kematian ini. Matanya melotot seolah mau meloncat keluar, bibir kelu tanpa mampu mengeluarkan teriakan dan erangan. Kedua kaki dan tangannya berkelojotan tak berirama. Perlu menunggu beberapa lama sebelum nyawa Dursasana melayang meninggalkan raganya.
Wrekudara melunasi nadzarnya, disempalnya kedua lengan dursasana. Terpisah tangan dari kembungnya. Ditadahinya dalam bokor darah yang mengucur dari tubuh jasad Dursasana, dihaturkannya darah itu kepada Drupadi. Saat itulah Drupadi mandi keramas pertama kali setelah lebih dari dua belas tahun.
Berakhirlah episode Dursasana sampai di sini. Yang berbuat mempertanggungjawabkan, yang menanam menuai hasil, yang berlaku mendapatkan balasan dari apa yang dilakukanya.
Angin kering musim kemarau berhembus, menyambar, membawa bau darah dan sisa erangan Dursasana ke segala penjuru mata angin. Melintasi padang perang kuru setra yang luasnya tidak cukup sepemandangan mata yang melihat. Kabar kematian tragis Dursasana tersiar dari angin ke angin, dari mulut ke mulut, dari roda kerata perang ke tunggangan perang, menembus dinding tebal padepokan Kuramandala. Kabar sedih ini tersampai kepada Duryudona, Sangkuni, Prabu Salya, Prabu Karna, Kartomarmo, Citrakso, Citraksi, juga Banowati. Diriingi dendam, kekecewaan, amarah dan tangisan keluarga, jasad Dursasana diperlakukan dengan upacara sesuai agama dan keyakinan Dursasana. | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: CERITA WAYANG 1 | |
| |
| | | | CERITA WAYANG 1 | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |
|