satu lagi tokoh inspiratif dari Gunungkidul...
dimuat di rubrik Sosok, Kompas, Kamis (4/6)....
salam,
nanik
SUDIYO: TEKUN, "TEKEN", "TEKAN"
Oleh Maria Hartiningsih dan Gesit Ariyanto
Proses menghutankan kembali dan memperbaiki ekosistem Hutan
Wonosadi setelah rusak parah akibat penjarahan pada tahun 1964-1965
berjalan seiring upaya menghidupkan kembali kearifan lokal untuk
dijadikan pegangan hidup masyarakat di sekitar Hutan Wonosadi.
Wong urip iku kudu ngerti sapa sing paring urip, sapa sing ngurip-
ngurip, sapa sing nguripi, lan apa sambékalaning urip.. "Sing paring
urip, yang memberi hidup itu Gusti Allah, menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Karena itu, kita harus tahu bagaimana
berterima kasih kepada-Nya," begitu dijelaskan Sudiyo (73), pemangku
adat dari Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung
Kidul, Yogyakarta, tentang esensi kearifan lokal itu.
Sudiyo, mewakili Masyarakat Adat Hutan Wonosadi, baru menerima
Penghargaan Keanekaragaman Hayati (Kehati Award) untuk kategori
Prakarsa Lestari. Ini penghargaan tertinggi bagi penyelamat keragaman
hayati yang diberikan Yayasan Kehati dan merupakan penghargaan keenam
sejak tahun 2000.
"Sing nguri-ngurip, yang merawat, adalah orangtua. Karena itu,
anak seharusnya berbakti kepada orangtua," kata Sudiyo melanjutkan.
"Sing nguripi, yang menghidupi hidup kita adalah Bumi Pertiwi.
Karena itu, kita wajib menjaga agar tidak rusak. Kalau bumi rusak atau
dirusak, kehidupan akan hancur."
Lalu, apakah sambékalaning urip? "Apa pun yang membuat kita
celaka. Harta, takhta, kesenangan ragawi," papar Sudiyo, "Orang hidup
dapat merasa bahagia hanya kalau tahu bagaimana berterima kasih,
mensyukuri apa yang dimiliki. Serakah tak hanya menjauhkan kita dari
perasaan bahagia, tetapi juga merusak. Bumi ini rusak juga karena
keserakahan."
Tridarma
Upaya menghidupkan kembali kearifan lokal dalam proses
menghutankan Hutan Wonosadi, diakui Sudiyo, bukan hal mudah. Selepas
tahun 1965, hanya tersisa lima pohon besar di hutan seluas 25 hektar
itu.
"Sekarang tinggal empat, yang satu mati karena sudah terlalu tua,"
kata Sudiyo tentang pohon asam munggur di tengah hutan itu.
Oleh pamong desa, Sudiyo lalu ditugasi menjadi Ketua Panitia
Pelestarian Hutan Wonosadi. Ia kemudian mengumpulkan warga dan
mengajak mereka untuk mulai menanam pohon.
"Warga juga diajak menanami sebagian hutan dengan buah-buahan
untuk pakan hewan liar," ujar Sudiyo menambahkan. Warga kemudian
membuat hutan penyangga seluas 25 hektar. Semua dilakukan secara
swadaya.
Penyadaran akan pentingnya menghutankan kembali Hutan Wonosadi
juga dilakukan melalui pentas kesenian budaya khas daerah itu, yakni
Rinding Gumbeng-Sudiyo adalah tokoh pelestari seni Rinding Gumbeng-di
samping wayang kulit dan lain-lain, serta pertemuan warga secara
reguler.
Dalam berbagai pertemuan, Sudiyo selalu mengingatkan tridarma yang
harus menjadi pegangan, yakni ngrumangsa handarbeni, wajib
angrungkebi, mulat sarira angrosowani.
"Merasa memiliki, seperti hutan kita sendiri, karena itu harus
bertanggung jawab menjaga dan mengamankannya, berkehendak dan
bertindak untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas hutan," kata
Sudiyo menjelaskan.
Bagi dia, hutan itu suci. Oleh karena itu, "Amanah leluhur harus
dilaksanakan, hutan jangan diusik, karena itu titipan anak cucu. Nanti
anak cucu kita juga harus memaknainya demikian sehingga hutan ini
lestari terjaga. Kalau hutan terjaga, kehidupan juga terjaga."
Proses perubahan
Proses penghutanan kembali Hutan Wonosadi membawa perubahan yang
tak terbayangkan. "Selama bertahun-tahun terjadi banyak masalah
kesehatan karena kekurangan air bersih. Pendidikan minim karena
kondisi ekonomi memprihatinkan. Sekarang, air bersih tak sulit lagi.
Setiap rumah punya kamar mandi-WC. Kehidupan ekonomi warga terus
membaik," papar Sudiyo.
Semua itu terkait dengan pulihnya tiga mata air yang mengering
setelah perusakan hutan tahun 1964-1965. "Sebelum perusakan hutan,
desa-desa di sini subur, loh jinawi, warganya sejahtera," kenang
Sudiyo.
Pulihnya mata air-sekarang debitnya 18 liter per detik-pada awal
tahun 1980 itu tampaknya bersamaan dengan proses kembalinya
keseimbangan ekologi seiring upaya warga menghutankan kembali Hutan
Wonosadi.
Hutan itu kini menjadi rumah bagi flora dan fauna langka, terdiri
dari kayu-kayuan, perdu, rerumputan, tanaman obat, anggrek lokal,
aneka jenis burung, dan satwa liar lainnya. Kemudian juga tercetak
sawah seluas 50 hekter yang dipanen tiga kali setahun.
Keuntungan finansial diperoleh dari kunjungan wisatawan, hasil
panenan sawah, dan lain-lain dari sumber daya lokal. Dana dari
kunjungan wisatawan kemudian digunakan untuk membentuk Bala Dewi,
Badan Pengelola Desa Wisata yang mengelola Hutan Wonosadi.
Semua itu, menurut Sudiyo, hanya bermodal tekun, teken, dan
tekan. "Tekun, artinya terus bekerja, tidak putus asa, apa pun
kesulitan yang ditemui. Teken itu pegangan, artinya bekerja dengan
memegang aturan yang berlaku. Tekan, artinya sampai. Kalau tekun dan
teken, akhirnya akan mendapat hasil yang diharapkan," ujarnya
menjelaskan.
Atas nama warga, Sudiyo mengucapkan terima kasih atas penghargaan
yang diterima. Namun, menurut dia, yang terpenting dari seluruh proses
itu adalah semangat kebersamaan dan gotong royong antarwarga yang
semakin kuat, kesadaran hukum warga, serta terjaganya kelestarian adat
dan budaya.
Tak bisa dibeli
Sampai hari ini, warga desa di sekitar Hutan Wonosadi masih terus
menjalankan berbagai upacara adat. "Untuk menghormati leluhur yang
membangun hutan ini," kata Sudiyo, seraya mengatakan upacara Sadranan
akan berlangsung pada bulan Juli.
Ia menceritakan kisah Eyang Honggoloco, nama samaran Raden Ronggo,
senopati Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, Raden Ronggo
bersama keluarganya pergi dan kemudian menemukan tempat itu.
"Hutan ini dipercaya sebagaitempat bertapa. Karena itu, tak boleh
dikotori dengan perbuatan tidak baik," tutur Sudiyo.
Menurut dia, banyak peristiwa aneh terjadi yang kemudian
menyadarkan warga untuk tidak menebang pohon atau mencuri kayu dari
hutan itu.
"Kalau hukum bisa dibeli, kearifan lokal tak bisa dibeli," ujarnya.
Hutan Wonosadi saat ini dijaga 25 relawan yang bertugas menjaga
dan merawat hutan, serta menanam bibit-bibit baru. Dengan terkekeh
Sudiyo menjelaskan "keistimewaan" yang didapat para relawan itu.
"Mereka dibebaskan dari kerja bakti, padahal tak pernah ada kerja
bakti. Mereka dibebaskan dari pungutan wajib desa, padahal jumlahnya
hanya Rp 5.000 setahun. Mereka dibebaskan dari biaya membuat surat-
surat keterangan, padahal belum tentu setahun sekali membuat surat
keterangan.."