Rincian lebih lanjut:
Cintaku selalu padamu
Oleh Motinggo Busye
Diterbitkan oleh Alam Budaya, 1980
264 halaman
Ceritanya akan bersambung dan bersambung terus........
Episode 1Laila terkejut ketika di panggil.
Suara ayahnya terasa begitu lantang. Dan ia yakin bahwa kali ini ia akan dimarahi. Dan ia yakin bahwa kemarahan ayahnya kali ini mestilah mengenai soal penting.
Gemetar Laila melangkah menuju teras samping rumahnya, dimana suara tadi bersumber.
" Duduk ", kata ayahnya.
Laila sebetulnya mau duduk, tetapi langkahnya gemetaran menuju kursi, jadi terlambat.
" Duduk ! mau membangkang lagi ya ? "
" Tidak, Papa ".
" Papa tidak terlalu banyak omong seperti mamamu, Laila. Secara singkat Papa peringatkan kamu agar tidak lagi main cinta dengan pemuda itu ".
" Pemuda yang mana Papa ? " Tanya Laila.
" Ah, kamu jangan berlagak pikun. Pemuda yang disebutkan Mamamu ", kata yahnya dengan tatapan mata tajam.
Laila tunduk oleh tatapan mata yang tajam itu. Dia menundukkan kepala . Dia masih berusaha membela diri : " Kalau mas Daud Waitulo yang Papa maksud…."
" Ya,…. dia itu ! ",potong sang Ayah.
" Kalau dia yang Papa maksud ", kata Laila masih tertahan – tahan , maka sang ayah memotongnya segera :
" Memang dia yang kami maksud. Yang surat kamu untuknya yang tidak jadi itu ditemukan. Namamu dalam kantong jaketmu… yang kamu katakana disitu minta perlindungan daripadanya, yang, yang kamu minta ajak diauntuk minggat dan kawin di kota lain, yang, yang, yang semua itu membuat rusak nama keluarga ! "
Laila berusaha menahan air matanya. Ayahnya menatap kearahnya. Ayahnya ingin melihat wajah Laila. Dia berkata, " Coba jangan berlagak patuh didepan Papa , nunduk – nunduk, hayo angkat kepalamu ! "
Laila tak bias menahan derai air matanya, Ayahnya membentak : " Ayo angkat kepalamu !"
Laila mengangkat kepala sedkit, dan dengan air mata berlinang ditatapnya ayahnya, Kini suara Ayahnya terdengar sendu :
" Kamu, Laila. Kamu Papa sayangi sejak kecil, kenapa setelah besar begini berani membuat putusan – putusan sendiri ", kata Ayahnya .
" Laila nggak mau kawin paksa, papa ! "
" Lho! Siapa yang mau kawin paksa ? Papa hanya melarang kamu berhubungan dengan Daud Waitulo itu. Bukan kawin paksa ! " , kata si Ayah lagi. " Kami semua tidak suka dengan tongkrongan dia ! tongkrongan dia yang jadi soal. Mengerti nggak ! Kami orang - orang tua, tahu betul tongkrongan orang – orang yang tidak betul, bandit – bandit, bajingan – bajingan, tukang goda perempuan, tukang rayu. Jelas ? "
" Jelas, Papa ". Sahut Laila menahankan tangis. Terdengar isak tangisnya kini.
" Kamu bersumpahlah pada papa dan mama, bahwa kamu tidak akan memilih Daud sebagai suamimu, demi keselamatan hari depan perkawinanmu", kata sang ayah.
Laila merasa ini bukan sumpah, melainkan ultimatum. Ini berarti Laila musti putus hubungan dengan mas Daud.
Tetapi Laila mencoba bertanya lebih dulu, sebelum ultimatum itu diterimanya. Sambil menundukkan kepala dia bertanya: "Papa….apa papa benar-benar kenal dengan watak dan pribadi mas Daud sampai papa begitu pasti memberi penilaian terhadapnya?"
"Jangan ajari orangtua dalam soal menilai!", bentak ayahnya mendadak.
"Jadi papa kenal dengan pribadi mas Daud. Dan pribadi dia pribadi bandit, suka ganggu perempuan, bajingan dan lain-lain itu ya pa?"
Tanpa diduga muncul Sarita, adik Laila nomor dua, Sarita nyeletuk: "Ah, kalau soal mas Daud sih orangnya keren, baik hati…."
Sang ayah, dalam menghadapi Sarita selalu tidak bias bersikeras. Sarita di manja orangtua karena dia dua kali membikin cemas keluarga: pertama ketika berumur 8 bulan hampir mati karena menderita sakit panas dikerongkongan, dan kedua ketika berumur 7 tahun hampir hancur lebur sebab sudah berada dibawah bus.
Hanya jalan yang kebetulan sompel yang menolong jiwa Sarita. Dia dianggap sebagai " Maskot ". Laila beruntung karna interupsi dari Sarita.
" Nggak model lagi, Papa, kawin – kawin paksa. Musti dijodohin sama ini, sama itu . Biar sama maling atau rampok sekalipun, biarin saja orang sekarang memilih pacarrrrrr ! , dan Sarita mengucapkan " Pacar " tadi dengan langgam " Pac-haaaaarrrrrrrr ", sehingga sang Ayah berusaha menahan jengkelnya.
" Sarita masuk " , perintah sang Ibu yang tiba – tiba muncul diteras samping.
" Ah, Ita Cuma mau nimbrung saja kok Mama ", kata Sarita.
" Nimrung juga nggak boleh . Ini pembicaraan orang tua " , kata sang Ibu.
" Okey, Mama. I Love you " kata Sarita dan pergi lari.
Sarita baru berusia tujuh belas tahun, tetapi sikapnya kadang kala memang kekanak – kanakan. Mungkin karena dia tahu dia dimanja.
Episode 2Setelah Sarita pergi sang Ibu memulai ucapan : " Begini saja. Dengerin nasehat orang tuamu, Laila. Banyak Contoh, dimana anak – anak kualat sama orang tua, Hidupnya mana yg selamat. Liat temenmu sendiri berapa ekor tuh yang gagal ".
" Emang betul Mama ", kata Laila.
" Nah sekarang ikuti kemauan orang tua sekali ini, Laila. Kita bukan memaksa kamu putusin hubungan sama si Daud. Anak itu baik juga kelihatannya ".
" Kalau baik kenapa Papa yang vonis sebagai bajingan, sebagai bandit ? "
" Siapa yang bilang bandit ? " Tanya sang Ibu.
" Papa ", kata Laila cepat.
Ibu itu menoleh pada suaminya dan dia berkata : " Kau kalau ngomong yang nyatroni dong, Pa ! Recht op het doel afgaan , buntut suara ibunya yang berbahasa belanda suapaya Lila tidak mengerti.
Laila memang tidak mengerti bahasa belanda itu. Tetapi akibatnya ia menafsirkan bahwa ada sesuatu yang mutlak, pendeknya suatu dalih, agar laila putus hubungan dengan Daud.
Itulah kira – kira tanggapan Laila melihat Ibunya ketika berbahasa belanda intu.
Dan lebih curiga lagi ketika Ibinya ngomong campur lagi dengan bahasa belanda :
" Si laila ini kalau dibiarkan terus sama dia itu, heh, meer dan hij afkan, Pa ! ", dan ditegaskannya pula dalam bahasa inggris : " more than he can manage ! ".
Laila mengerti sedikit, namun kecurigaan Laila bertambah bahwa dia akan dipepet dan dipojokkan kini. Maka Laila berkata : " Laila akan patuh ,deh ! ".
Setelah berkata begitu, Laila pergi dari teras. Ayahnya tampak senang dengan ucapan singkat Laila. Namun Ibunya lebih arif lagi. Ibunya berkata : " Kita tak bias gembira begitu saja dengan kata – katanya Laila akan patuh , Deh……kita musti bisa meyakini dia, bahwa Daud bukan jodohnya ! ".
" Ngomong sih gampang , Mam. Anak macam Laila ini mengenal logika ! kita jangan anggap dia itu enteng. Dia cerdas. Dia pandai menganalisa. Dia keras hati dan juga keras kepala. Salah – salah dia bisa minggat dari rumah ini untuk bisa kawin dengan Daud ".
" Berapa lama sih dia tahan pisah dengan kita ? " Ibu itu menantang.
" Ngomong kau sekarang. Begitu dia minggat, kamu pun minggat ", kata sang suami.
Ibu Laila ter perangah dia mengulangi keyakinannya : " Dia melakukan siasat berlagak mematuhi kita. Ik berani bertaruh sama jij, Pa…….si Laila pasti akan melarang Daud mampir kesini lagi. Selanjutnya mereka akan mencari tempat rendezvous yang lain. Dan itu lebih berbahaya lagi ".
Sang suami diam.
Sang istri menambahi : " Lebih bahaya lagi kerena tiba – tiba saja kita dikasih fait accompli : Laila bunting ! ".
" Ah, pikiranmu selalu negatif 3 tahun aku kawin dengan kau, Mam, kau baru bunting ".
" Tetapi soal Virgin, soal keperawanan ! bisa saja mereka disatu tempat rendezvous. Lantas Laila bunting. Kita berdua jadi bego dan malu. Terpaksa dikawinin. Anak-anak sekarang kan banyak gitu, Pa ? cinta buat mereka terlalu simpel. Mereka tidak mengenal apa yang oleh kita di agungkan : De eliefde peoor de kunst. Cinta buat generasi Laila sekarang ini ibarat barang mainan. Nggak jadi sama ini , sama itupun jadilah. Mereka tak punya semboyan mengenai apa keagungan cinta apa keagungan perkawinan. Mereka tak punya apa yang kita agungkan sebagai " een huwelijk uit liefde ", a marriage of love ".
"Dus kita harus keras ", kata sang suami .
"Keras justru bahaya. Kita musti bersikap lunak pada Laila. Kita harus banyak dekat dengan Laila. Jangan kita – kita ini Cuma selalu cari duuuit saja. Cari kemewahaaaan, saja !".
" Lho , kamu yang selalu begitu : minta kulkas baru , minta meubel elite macam – macam ", bantah sang suami.
Ibu Laila terhempas oleh bantahan suaminya . Ia berniat ingin menyadarkan Laila suatu ketika , sendirian artinya : empat mata . malam ini tidak kena. Sang ibu tak ingin Laila begitu gampang jatuh ketangan pria yang belum punya watak seperti dia memilih Ayah Laila dengan segala seginya yang pantas.
Dan bilamana pilihan itu tiba Laila belum pulang juga. Katanya kerumah teman .
Sang Ibu menunggu di rumah tentu Laila bukan ke rumah temannya .
Pasti bersama Daud .
Dugaan sang Ibu tidak meleset.
Laila memang sedang bersama – sama Daud. Bahkan di rumah kontrakan Daud.
Dia tampak sedang membersihkan perangkat makan dari meja. Mungkin mereka berdua barusan saja selesai makan malam bersama. Dari meja Laila membawa perangkat piring – piring untuk dicuci . Ketika Laila mencuci piring , Daud ikut jongkok menemani.
" Memang kamu pantas menjadi nyonya ku ". Kata Daud.
" Hanya Papa dan Mama ku menganggap kita tak pantas menjadi suami istri ", kata Laila.
" Semua orang tua didunia ini egois. Tak ada orang tua yang langsung setuju dengan lelaki pilihan puterinya. Kecuali kalau lelaki itu merekayang pilih. Kalau puterinya yang memilih, musti ada saja yang kurang ".
Laila menyusun piring – piring yang baru dicuci itu dirak piring. Daud berkata : " Aku harus lebih sering bertemu kerumahmu, supaya mereka lebih kenal calon mantunya '.
Laila menaroh piring dirak itu, tetapi matanya menatap Daud dengan sikap berat. Daud merasa heran : " Kenapa Lail ? "
" Jangan lagi " , kata Laiala.
" Jangan lagi bagaimana ? tidak boleh dating ? " Laila hanya menggelengkan kepala. Dia kemudian menyusun semua piring dan gelas itu dengan rapi, dan melap tangannya. Kemudian dia melangkah menuju meja makan yang sudah bersih itu. Tangannya bersitelekan diatas permukaan meja makan itu. Suaranya penuh perasaan : " Mereka tidak suka kau . Saya kira mereka sudah ada pembicaraan dengan famili terdekat. Mungkin juga sudah janji ".
Episode 3Diangkat tangannya yang bersitelekan itu, dan dia berbalik, berhadapan dengan Daud yang tadi berdiri tepat dibelakangnya. Maka dipeluknya Daud : " Mas Daud. Laila tiba – tiba takut mengambil keputusan, maka nantinya mas Daud malahan menyia – nyiakannya ".
" Menyia – nyiakan apa maksud mu ? " Tanya Daud.
" Menyia – nyiakan nasib Laila ", kata Laila. " Mas tau sendiri, Mama dan Papa sebetulnya saying pada Laila. Mas tidak tahu, bahwa Mama punya sikap pukul rata terhadap generasi kita sekarang ini. Mama menganggap itulah yang dibilangnya kepada Papakudimalam itu…..dianggapnya generasi sekarang ini cintanya murahan, gampangan. Tidak jadi dengan mas Daud, dikiranya Laila bisa saja ganti dengan pemuda lain ".
" Jadi kalau pendapatmu sendiri ? " Tanya Daud. Daud membenahi rambut Laila yang kusut.
" Buat Laila, mas Daud adalah segala – galanya. Buat saya tidak jadi dengan mas Daud lebih baik matisaja. Saya ingin buktikan pada Mama dan Papa , bahwa generasi kamipun mengenal cinta yang sebenarnya. Kalau perlu mati, ya mati ".
" Jangan terlalu negatif ". Kata Daud. " Kita pasti jadi suami istri. Tanpa perlu mati ".
" Dan buat Laila, bila Laila kawin sama mas Daud, kita hanya bercerai mati ", ucap Laiala. Karna tubuh Daud tinggi, ketika melepas pelukannya pada Daud, ditatapnya mata Daud dengan kepala tengadah . Dia berkata lirih : " Laila sungguh – sungguh , mas ".
" Akupun demikian ", kata Daud. " Tetapi cinta yang besar tunbuh dari macam – macam cobaan yang ruwet. Cinta kita akan semakin padat dan pasti. Saya tak pernah main – man dengan kau sejak pertama kali kita kenalan. Apa pernah ? ".
" Justru itulah ", kata Laila, " Mas Daud orang sekarang yang punya karakter sendiri, mas. Banyak pria seusia mas Daud yang tingkah lakunya meragukan. Tapi mas tidak ".
" Daud menghela nafas bahagia mendengar pujian gadis yang sangat dicintainya itu.
Lonceng jam dinding berdentang delapan kai. Laila melihat kedinding, lalu berkata :
" Sudah waktunya Laila pulang ", Laila kemudian menatap mata Daud.
" Disini saja dulu " , Kata Daud, menatap bola mata Laila. Bola mata itu tidak tampak gemerlap melainkan dilelehi air mata, " Kenapa kau mau menangis ? "
" Harapan kita tipis " kata Laila. " Kecuali kalau kita bersikap drastic. Yaitu mengambil langkah yang mengakibatkan putusnya hubungan dengan orang tua ".
Daud menghela nafas , dia mengangguk, menatap lagi pada Laila dan berkata : " Kita masih perlu menemukan jalan damai. Sebaiknya aku cepat – cepat melamarmu ".
" Ah, tak mungkin ", kata Laila, " Tanggapan orang tuaku – Papa dan Mama – sudah negatif, tanpa alas an. Mas Daud boleh saja Laila akui sebagai pria serius.
Buat mereka mereka negatifnya : tidak serius. Mas Daud sebagai bujangan kuanggap sudah siap berumah tangga. Segala – galanya sudah tersedia, sampai – sampai keset kaki di kamar mandi. Buat mereka mungkin negatif : mungkin mereka merasa telahpunya calon yang melebihi. Sulit, sulit, mas ". Dan Laila menangis. Tapi buru – buru dia hapus air matanya . Dan dia melangkah seraya berkata : " Dag, ya ? Laila pulang dulu, mas ".
" Laila ! " seru Daud.
Laila terus melangkah. " Laila ! "
Laila berhenti didepan beranda. Tidak menoleh karena air matanya bercucuran dengan dera.
" Kau tenanglah , Lail , saya memang harus melamarmu kerumah orang tuamu " kata Daud.
Laila menggelengkan kepala.
" Lailla bingung ", katany. " Sungguh Laila bingung…….mas ! "
Daud membelai – belai rambut nya. Laila berkata putus asa : " Laila pergi dulu, jangan datang kerumah ".
Mata Daud menatap berkaca – kaca sampai hilangnya Laila dalam kegelapan malam, diantara lampu – lampu dan keramaian jalanan malam itu.
Bila sampai dirumah, sang Ibu sudah menyongsongnyakepagar pekarangan. Ibu bertanya : " Kamu bener – benar pergi kerumah teman ? "
" Ya, Mama ", kata Laila tak acuh.
" Matamu merah, kamu seperti baru habis menangis ".
Kata sang Ibu.
" Memang ". Sahut Laila.
Ibunya menghela tangan Laila , sehingga Laila terbawa kehendak Ibunya tidak langsung masuk kerumah melainkan keteras samping. Lampu teras samping tidak dinyalakan. Tetapi dari lampu plafon pojok memantul cahaya yang lumayan menerangi teras .
Laila tahu ia akan diadili lagi. Sikapnya sudah siap – siap .
" Dari mana kau ? "
" Dari ruma teman, Mama "
" Betul ? " Tanya sang Ibu.
" Kalau Laila bohongpun Mama tidak tahu ", kata Laila.
" Kalau begitu kamu dari rumah Daud " kata Ibunya. Beliau berkata lagi seperti berkata pada dirinya sendiri : " Benar – benar keras kepala kau. Seperti yang Mama duga, kau akan melarang Daud kesini, sebaliknya kau yang akan kesana ".
" Papa dan Mama yang menciptakan saya menjadi orang pendusta ", kata Laila.
" Keras kepala…….. ", gerutu sang Ibu, " Kau akan mengalami nasip jelek nanti, Laila "
Laila merenungi ucapan Ibunya : Benarkah ramalan ini ? jika benar, apakah aku mulai kini siap memasuki kutukan ibu ?
" Saya kira hidup saya akan bahagia jika do'a Papa dan Mama ikhlas ", kata Laila.
" Kau memang pintar bicara, Laila . Tadi Papamu ngomel – ngomel kau lambat pulang. Itukah yang kau inginkan dirumah ini ? cekcok, marah, dan saling tuduh – menuduh ? Tahukah kamu ? Mama yang dituduh Papa setiap hari sebagai ibu yang longgar, tidak streng ! hanya karna soal kau ? ".
Uacapan Ibunya tiba – tiba menyerap dan menelan perasaan Laila
Bersambung.......