SURABAYA - Menjadi tukang pijat belumlah cukup. Sumirah nyambi jadi tukang
sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik. Sebagian hasil keringatnya itu ia
gunakan untuk membangun madrasah, masjid, mushala, dan mengurus anak yatim.
Ternyata, beramal tidak harus menunggu kaya.
Penolakan halus langsung diucapkan Sumirah, pimpinan Panti Asuhan Yatim
Piatu Amanah, Rungkut, Surabaya, saat akan diwawancarai Surya untuk tulisan
ini. "Saya ini apalah mbak, kok pakai diwawancarai. Masih banyak yang lebih
bagus, lebih pintar, dan lebih hebat," elaknya saat ditemui di Panti Asuhan
Amanah sekaligus rumahnya di Jalan Pandugo Gg II Nomor 30 B, Rungkut, Senin
(15/9).
Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha
sukses. Namun, kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir orang
pada abad ini.
Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan. Ia
mendirikan madrasah, masjid, dan mushala di kampungnya, Pacitan. Mungkin
juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim dengan menjadi
tukang pijat panggilan.
Rasa empati Sumirah sudah terpupuk sejak kecil. Ia terbiasa bergaul dengan
anak-anak yatim asuhan almarhum Atmorejo, ayahnya. "Saat itu ada 100 anak
yatim dan anak-anak lain yang berlatih ilmu kanuragan (kebatinan) di rumah.
Mereka semua tinggal di rumah," kata ibu lima anak ini.
Secara materi Sumirah kecil tercukupi, tetapi didikan ayahnya tidak
membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD ia sudah menjadi tukang pijat
alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya "ditabung" di mushala di
Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.
"Saat itu saya masih ingat nasihat ayah, 'Kalau kamu punya rezeki, 50 persen
untuk kamu dan 50 persen lagi untuk mushala. Pasti rezeki itu akan
barokah'," ujarnya.
Pesan almarhum ayahnya terus diingat Sumirah. Setiap rupiah yang dihasilkan
selalu disisihkan untuk mushala. Begitu pula ketika orderan memijat merambah
hingga Madiun, bahkan Semarang.
Saat SMP Sumirah dan kakaknya hijrah ke Jakarta. Di kota megapolitan ini
Sumirah tidak tertarik mencicipi pekerjaan lain. Kebetulan, kemampuan
memijatnya tersohor hingga ke Jawa Barat. Pada 1986 Sumirah dan suami
mencari peruntungan di Surabaya. Di kota ini selain tetap memijat, ia
bekerja di pabrik PT Horison Sintex (sekarang Lotus). Ia hanya masuk pabrik
hari Selasa, Rabu, dan Kamis.
Namun, dua profesi itu belum cukup. Merasa waktunya masih senggang, Sumirah
mencari pekerjaan sampingan. Ia menjadi tukang sol sepatu, menjahit baju,
dan tukang keriting rambut. "Karena pekerjaan banyak, rata-rata saya hanya
tidur dua jam sehari. Mijat saja sehari hingga 20 kali," katanya sambil
tersenyum.
Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia mengantongi
Rp 2 juta. Namun, limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk. Uang itu
dialirkan untuk membangun madrasah, mushala-mushala, dan masjid di desanya.
Sumirah enggan menyebut nama mushala itu. "Nanti saya ndak diridaikalau
pamer," katanya.
Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa dilewati
karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya memperkeras seluruh jalan itu
dengan paving blok. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena
simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.
"Saya tidak pernah menyimpan uang di bank. Bukan apa-apa, tapi karena tanda
tangan saya tidak pernah sama. Itu tentu tidak boleh kan?" katanya.
Hidup Sumirah teruji saat dia melihat banyak anak telantar di sekitar
kampungnya. Dia nekat menampung 54 anak yatim itu di rumahnya yang berukuran
2,5 meter x 13 meter. "Sebagian dari mereka saya koskan di depan rumah. Saya
sewa tiga kamar," katanya.
Masalah datang ketika anak asuhnya ndableg dengan menghabiskan air dan sabun
milik ibu kos. Sekitar pukul 21.00 anak-anak itu diusir. "Mereka saya
tampung di rumah saya. Jadi, mereka tidur sambil duduk," kata Sumirah.
Esoknya, Sumirah mencari kontrakan untuk mereka. Tawaran kontrakan Rp 4 juta
ditolak karena Sumirah tak punya duit. Di tengah kesulitan ia berdoa.
Mendadak ada semacam dorongan untuk menghubungi Pak Triyono, dermawan dari
Barata Jaya, Surabaya. Sumirah kaget, Pak Triyono memberinya zakat maal
(zakat kekayaan) sejumlah Rp 4 juta. "Agar tidak mengganggu penduduk
kampung, pagi-pagi sekali kami pindahan," katanya.
Panti Asuhan Amanah kini menampung 60 anak yatim, dibangun Sumirah pada
1996. Mereka kanak-kanak hingga remaja. Belum lama ini Sumirah mengasuh
balita yang ditinggal mati bapaknya. Amelia, balita itu, sekarang berumur
sembilan bulan. "Oh ya, Saya sudah menikahkan 13 anak di sini, 16 Oktober
nanti saya mantu lagi," ujarnya dengan mata berbinar.
Untuk mencukupi hidup anak asuhnya, Sumirah tidak mengandalkan bantuan
donatur yang sebagian adalah pelanggan pijatnya. Selepas subuh, anak yatim
itu berdagang kelapa kupas, sayuran, dan bumbu. Sumirah dan suami juga
membuka toko kelontong.
Mengakhiri kisahnya, Sumirah sempat bilang, "Pergunakanlah mata hati. Banyak
orang pintar yang belum tentu mengerti." (MUSAHADAH)