SRI Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) tetap terlihat energik di usia 61 tahun.Agenda kegiatan yang superpadat tetap bisa dijalani berbarengan dengan jabatannya selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Guratan-guratan kulit yang menua di wajah pria berkacamata itu seolah tak melunturkan kewibawaan dan pengaruhnya.
Posisinya sebagai pengayom semua masyarakat di Yogyakarta tidak menjadi penghalang panggilan batinnya untuk berkiprah di ranah politik.Memang,pergulatan di dunia politik praktis telah digeluti lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (1984) ini sebelum dirinya menduduki singgasana kerajaan. Terbukti, dia aktif di Partai Golkar. Bahkan,pada 1982–1997,dia sudah menjabat sebagai Ketua DPD Golkar DIY. Belakangan, namanya kerap disebutsebut sejumlah pengamat politik negeri ini sebagai salah satu calon pemimpin yang akan dipilih melalui Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 mendatang. Kiprahnya di dunia politik memang tidak secemerlang politikus lain seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sukses menduduki kursi RI-1. Namun kontribusinya di dunia politik tidak bisa dipandang sebelah mata.Dia punya peran penting ketika reformasi bergulir. ”Sultan punya kewajiban berkontribusi untuk rakyat. Semua itu sudah diletakkan fondasinya oleh para pendahulu saya. Hanya karena saya menjabat sebagai gubernur, otomatis yang namanya gubernur itu jabatan politik,” ujar Sultan yang dikenal sangat dekat dengan rakyatnya ini.
Kedekatan dengan rakyat inilah yang membuat dirinya semakin kuat berkiprah di dunia politik.Baginya, mengabdi untuk rakyat adalah sebuah kewajiban. Kedekatan dengan rakyat juga menjadi dasar bagi Sultan untuk mendapat pelajaran dari kalangan akar rumput.Setidaknya, dia bisa mendengar apa yang menjadi problem di masyarakat bawah. Hal ini terbukti ketika reformasi pecah, Sultan pun turun ke jalan menyuarakan perubahan.Rupanya, sebelum reformasi terjadi, dia kerap membahas persoalan bangsa lewat pelbagai diskusi. Bahkan, sebagai Ketua (DPD) Golkar saat itu, Sultan tidak pernah setuju Golkar di Yogyakarta memobilisasi dukungan agar Presiden Soeharto diangkat kembali menjadi orang nomor satu di Indonesia. ”Kita pun kirim surat ke DPP Golkar bahwa kami Yogya ini menentukan dua periode saja presiden itu. Akhirnya Universitas Gadjah Mada (UGM) juga ikut menentukan dua periode. Tapi malah saya diinterogasi, sama zamannya Pak Muhono,sama zamannya Pak Harmoko, dianggap mengkhianati.... Bagi saya nggak apa-apa karena namanya perjuangan,” ujarnya. Saat reformasi bergulir, bersama Paku Alam VIII, Sultan tampil menyuarakan ”Maklumat Yogyakarta” yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Saat itu, kedua tokoh ini mengalami kesulitan merumuskan langkah apa yang mesti dideklarasikan sebagai satu bentuk perubahan tanpa membawa ekses negatif konflik.
”Saya berharap masyarakat mengambil inisiatif mengamankan prosesi,”tambahnya. Sejatinya, kiprah politik Sultan sangat terkait erat dengan statusnya sebagai putra mahkota, yaitu bahwa sejak usia muda,dia sudah dipersiapkan menjadi penerus tahta keraton dengan menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Sebelumnya dia menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi. Dalam bahasa Jawa, Mangkubumi bisa diartikan memangku bumi. Dengan kata lain, pria yang saat lahir bernama Bendara Raden Mas (BRM) Herdjuno Darpito itu adalah seorang calon pemimpin.
Dirinya dinobatkan sebagai raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage, 19 Rajab 1921) menggantikan ayahandanya, Sri Sultan HB IX yang mangkat di Amerika Serikat, 8 Oktober 1988. Sebelum dinobatkan sebagai raja keraton, Sri Sultan sudah mulai aktif di organisasi kemasyarakatan dan dunia politik. Di antaranya sebagai Ketua DPD Golkar DIY selama 3 periode, Ketua Umum KADINDA DIY juga 3 periode, Ketua KONI DIY 2 periode, Komisaris Utama PG Madukismo PT, dan sejak 3 Oktober 1998 ditetapkan sebagai Gubernur DIY. Setidaknya, ”garis tangan” pemimpin karismatik yang dimiliki Sultan HB X tidak bisa dipisahkan dari figur ayahnya, Sultan HB IX yang merupakan raja terbesar Yogyakarta sepanjang sejarah Kesultanan Yogyakarta sejak Perjanjian Giyanti 1755.Apalagi, sejarah mencatat Yogyakarta dikenal sebagai wilayah yang melahirkan ”pembangkang” terhadap kekuasaan kolonial Hindia Belanda ketimbang menjadi sebuah pusat kebudayaan. Sultan HB IX (putra Sultan HB VIII) yang juga bernama Dorodjatun memiliki pendidikan modern.
Ini didapat ketika Sultan HB IX mendapat pengajaran dari keluarga Mulder,seorang keturunan Belanda. Apalagi setelah dewasa Sultan HB IX bersekolah di Belanda yang pada akhirnya bersahabat dengan Putri Juliana (yang akhirnya menjadi Ratu Belanda). Pada 1930-an Sultan HB VIII memanggil anaknya pulang dan bertemu di Hotel Des Indes (kini menjadi Pertokoan Duta Merlin) di Batavia. Saat itulah Sultan HB IX mendapatkan tahta kerajaan.Tidak seperti bangsawan-bangsawan lain, Sultan HB IX dikenal sebagai seorang sultan yang rendah hati.Dia benar-benar bergabung dan membela rakyatnya, hal yang hingga kini menjadi cerita-cerita rakyat Yogyakarta yang legendaris. Ini pula yang pada akhirnya membuat Keraton Yogyakarta menyimpan ragam kebesaran sejarah. Di masa kolonial, pernah menjadi benteng pertahanan dari penjajahan Belanda. Pada masa revolusi,keraton juga menjadi ”Istana Presiden”,tatkala Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia. Bahkan, ketika maraknya demonstrasi mahasiswa menyerukan Presiden Soeharto lengser,Keraton kembali menjadi ajang bagi mahasiswa dan seluruh masyarakat Yogyakarta menggelar Pisowanan Ageng (apel akbar) mendukung gerakan reformasi guna memperkuat kepemimpinan nasional yang memihak rakyat. Sifat kerakyatan yang dimiliki Sultan HB IX rupanya mengalir deras dalam darah Sultan HB X.
”Saat itu Sri Sultan belum menjadi gubernur. Kami sering bekerja sama intensif dan mengadakan pertemuan di rumahnya untuk membicarakan perkembangan politik yang ada,” ungkap mantan Rektor UGM (1998–2002) Ichlasul Amal kepada SINDO. Wibawa dan pengaruh Sri Sultan HB X mampu menjaga ketenteraman masyarakat Yogyakarta sehingga tidak terjadi kerusuhan massal yang anarkistis seperti yang terjadi di daerah lain. Ichlasul mengungkapkan bahwa sifat kepemimpinan Sri Sultan HB X pun tidak luntur ketika menjabat sebagai Gubernur DIY sejak akhir 1998 silam hingga sekarang. ”Karena sebelum itu Sri Sultan sudah banyak terlibat dalam gerakangerakan reformasi. Lalu dipilih jadi gubernur, otomatis yang sudah dia lakukan sebelumnya itu melekat pada dirinya saat menjadi gubernur,” ujarnya. Sri Sultan Hamengku Buwono X yang lahir di lingkungan darah biru memancarkan karisma sebagai seorang pemimpin bagi rakyatnya.
Syahdan, kebesaran Keraton Yogyakarta ini menitiskan karisma yang kuat kepada para turunan raja keraton hingga kini. Di kalangan masyarakat Yogya, Sri Sultan dihormati sekaligus ”disembah”. Sejak menggantikan ayahandanya, Sri Sultan HB IX, Ngarsa Dalem, demikian ia biasa disapa, dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya. Sikap setia rakyat Yogyakarta terhadap Sri Sultan HB X bukanlah karena faktor kebetulan dan jabatan tradisi sebagai keturunan raja. Meski sebagai raja keraton, dia memiliki kedekatan dengan rakyatnya dan memiliki jiwa kepemimpinan otentik sebagai guru bangsa sekaligus oase spiritual bagi bangsa ini. Berbagai pemikiran modern sang raja juga membawa perubahan demi kemajuan DIY saat ini. Pemimpin tradisional yang datang dari lingkungan darah biru modern ini memiliki visi dan perilaku modern. Bahkan tokoh yang memiliki gelar KGPH Mangkubumi ini berani meninggalkan statusnya sebagai seorang raja dan terjun ke dunia politik.Tentu keputusan Sri Sultan ini suatu langkah yang luar biasa mengingat budaya keraton yang cukup kental dengan tradisi feodalistik. Meski begitu, ada pula yang mengaitkan hal ini terhadap panggung politik 2009. ”Itu suatu langkah yang luar biasa dan kalau menang akan memperkuat posisi dan legitimasi dia sebagai pemimpin tradisional yang memiliki visi modern,” ungkap sosiolog UGM Heru Nugroho kepada wartawan.
Sebagai raja sekaligus gubernur,menurut Heru, Sultan cukup berhasil menjaga ketenteraman Yogyakarta selama ini. Ketika terjadi huru-hara, sang raja selalu turun langsung ke lapangan menenteramkan rakyat. ”Di Yogyakarta tidak pernah terjadi kekerasan secara masif meski kecil-kecil juga ada.Itu saya kira pengaruh dari Sultan,” kata Heru. Begitu pula hubungan dengan kekerabatan di lingkungan Pakualaman.Hal itu juga dijaganya dengan baik. Sri Paduka Paku Alam IX sebagai wakil gubernur yang mendampingi Sri Sultan HB X dalam pemerintahan daerah menyatakan hubungan Pura Pakualaman dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sudah terpola dan berjalan baik sejak lama di dalam bingkai kebudayaan Jawa. Hubungan ini sudah ada sejak dulu dan selalu mengedepankan harmoni.
Maklum,Keraton Ngayogyakarta dengan Pura Pakualaman, Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran awalnya merupakan satu saudara dalam bingkai Kesultanan Mataram. ”Setiap kebijaksanaan dari Kasultanan selalu saya dukung, demikian pula langkah-langkah beliau sebagai Gubernur DIY. Saya pribadi selalu berusaha menyerasikan dan menyelaraskan dengan program-program beliau. Saya sudah bangga dipanggil paman oleh beliau,” ungkap Paku Alam dalam sebuah kesempatan. Namun, kiprah politik Sultan di lingkup lokal Yogyakarta, bisa jadi, akan berakhir. Sebab, pada 7 April 2007 lalu, di Keraton, dia menyampaikan orasi budaya berjudul ”Roh Yogyakarta untuk Indonesia: Berbakti bagi Ibu Pertiwi”, yang intinya menegaskan ketidaksediaannya menjadi Gubernur DIY selepas masa jabatannya tahun 2008. Hanya saja, lagi-lagi, ada asumsi yang menyebutkan bahwa keputusan yang diambil Sultan itu sangat terkait erat dengan muatan politik 2009. Akankah Sri Sultan HB X maju ke kancah politik nasional? Waktulah yang akan menjawab. (*)
Source : www.hu-pakuan.com