PLAYEN : Sebanyak 41 anak-anak Panti Asuhan Taman Bina Anak, Bandung, Kecamatan Playen, Gunungkidul, korban perang dan kekerasan pasca jejak pendapat di Timor Leste 1999 mendapat kunjungan Kasubdit Ekososbud Ham dan Kemanusiaan Deplu Suryana. Pejabat pemprov DIJ serta pemkab Gunungkidul juga menyertai kunjungan itu.
Sayangnya, kunjungan itu membuat pengelola panti kecewa. Pasalnya, acara itu hanya seremonial belaka tanpa adanya solusi terkait masalah yang dialami penghuni panti.
”Acara seperti ini bukan kali pertama kami terima. Sudah beberapa kali kami mendapat tamu agung, dan nyaris tidak pernah ada hasil nyata bagi perjuangan anak-anak kami, memperoleh status kewarganegaraaan RI,” kata Yohanes Suwardiyo, Ktua Panti Asuhan kepada Harian Jogja saat menyambut rombongan tamu Deplu, kemarin.
Diakui Suwardiyo, sejumlah lembaga seperti dari UNHCR, maupun departemen pernah mendatangi panti tersebut. ”Tapi dari setiap ada acara menyambut tamu, tidak jelas hasilnya apa, meskipun permasalahan status kewarganegaraan sudah kami sampaikan berulang kali,” tandas Suwardiyo yang pernah 10 tahun tinggal di Timtim sebagai Kakanwil Depdikbud.
Dalam pertemuan, sejumlah anak eks Timtim menuturkan ingin sekolah dan berkembang sebagaimana anak-anak pada umumnya. ”Kami hanya ingin belajar, agar bisa membantu mama dan orang tua yang saat ini masih berada di pengungsian di daerah NTT,” kata Yohana Swares dihadapan rombongan.
Hal senada juga dikatakan Secar Nazaria, di mana keinginan untuk belajar anak-anak eks Timtim sangat tinggi. ”Kami masih ingin jadi anak Indonesia dan mendapat status resmi sehingga keinginan untuk menjadi anggota Polairud bisa tercapai,” tutur Necar.
Ke 41 anak-anak eks Tim-tim ini rata-rata bersekolah di beberapa sekolah seperti SMP Negeri III Playen, SMA Dominikus Wonosari dan SMK Negeri Tanjungsari jurusan pelayaran. Namun untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, anak-anak eks Timtim terganjal status kewarganegaraan. Seperti yang dialami Julio (17) yang terpilih sebagai anggota tim sepakbola Pra PON mewakili Gunungkidul. Julio akhirnya mundur dari seleksi provinsi hanya karena tidak bisa menunjukkan akte kelahiran. ”Saya harus menyadaril itu meskipun sebenarnya saya kecewa harus mundur,” kata Julio Swares.
Sementara itu, Suryana, Kasubbid Ham dan Kemanusiaan Bidang Ekososbud Deplu menyatakan kegiatan tersebut dilakukan selain menindaklanjuti desakan DPR RI untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi dan status kewarganegaraan. ”Memang 9 tahun sejak peristiwa sudah terlambat karena desakan DPR RI juga baru saja kami terima,” kata Suryana.
Secara teknis, lanjut Suryana, memang harus ada pengakuan dari kedua pihak (anak dan orangtua) untuk menentukan domisili dan status kewarganegaraan tanpa ada paksaan dan tekanan dari manapun. Namun belum bisa dipastikan kapan anak-anak eks Timtim yang masih ingin menjadi WNI. ”Pasalnya, perlu proses panjang untuk mendapat kepastian dari kedua pihak baik anak-anak dan orang tua yang terpisah di sejumlah titik pengungsian di Indonesia. Kami harus menemui berbagai pihak. satu satu termasuk orang tua yang di pengungsian di Kupang NTT, Atambua dan daerah pengungsian lain di Indonesia,” katanya